REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tokoh tasawuf, Muhyiddin Ibnu Arabi menghasilkan banyak gagasan dalam pemikiran Islam, di antaranya paham wahdatul wujud.
Namun, pemikiran ini pun kerap menuai pertentangan di kalangan para ulama, terutama dari kaum fuqaha dan ahli hadits.
Secara gamblang, wahdat wujud Ibnu Arabi menekankan bahwa semua wujud yang ada ini bergantung pada tuhan yang bersifat wajib. Alam ini diibaratkan sebagai cermin yang di dalamnya terdapat bayangan tuhan.
Ulama asal Tukri, Badiuzzaman Said Nursi mengungkapkan, ada banyak faktor yang membuat seseorang tertarik kepada paham wahdatul wujud. Namun, secara ringkas, Nursi hanya menjelaskan dua faktor saja dalam bukunya yang berjudul Al-Lama'at terbitan Risalah Nur Press, halaman 79-80.
Faktor pertama, menurut Nursi, mereka tidak bisa memahami penciptaan dari rububiyah Tuhan dalam tingkat yang paling agung.
Mereka tidak mampu meyakini secara utuh bahwa Allah SWT, dengan keesaan-Nya adalah Dzat Yang Mahamemiliki di mana segala sesuatu berada dalam genggaman rububiyah-Nya, serta bahwa segala sesuatu diciptakan lewat kekuasaan, kehendak, dan kemauan-Nya.
"Karena mereka tidak mampu mengetahui hal itu, mereka terpaksa mengatakan bahwa segala sesuatu adalah Dia (Allah). Dengan kata lain, tidak ada yang maujud (eksis). Yang maujud hanyalah khayalan. Atau, manifestasi dan wujud lahiriahnya saja," jelas Nursi.
Faktor kedua, tabiat cinta adalah tak ingin berpisah. Perpisahan tersebut sangat dihindari. Syaraf-syaraf sang pencinta menjadi terguncang manakala mendengar kata perpisahan. Ia sangat mencemaskan adanya kepergian, seperti kecemasannya terhadap api neraka. Ia akan berlari dari kemusnahan.
Sebaliknya, lanjut Nursi, ia sangat mencintai adanya “hubungan” seperti kecintaannya terhadap roh dan jiwanya.
Serta, dengan rasa rindu yang tak terhingga, sebagaimana kerinduannya pada surga, ia ingin dekat dengan Tuhan.
Karena itu, dengan keyakinan bahwa manifestasi kedekatan Tuhan terwujud dalam segala sesuatu, maka perpisahan dan kepergian tersebut seolah-olah tak pernah ada.
Yang dirasakan hanyalah perjumpaan dan pertemuan terus-menerus lewat ungkapan, “Yang ada hanyalah Dia.”
Dengan kondisi mabuk cinta serta akibat rasa rindu untuk tetap eksis, berjumpa, dan bersua dengan-Nya, menurut Nuris, mereka beranggapan bahwa lewat paham Wahdatul Wujud kecenderungan mereka tersebut bisa segera terpenuhi. Karena itu, mereka menjadikan Wahdatul Wujud sebagai pelarian agar bisa terbebas dari perpisahan yang menakutkan.
"Artinya, sebab pertama di atas berasal dari ketidakmampuan akal untuk memahami sebagian dari hakikat keimanan yang sangat luas dan agung itu, serta berasal dari ketidakberdayaannya untuk mengetahui masalah tersebut. Adapun sebab kedua berasal dari munculnya perasaan kalbu yang berlebihan akibat pengaruh rasa rindu dan cinta yang luar biasa," kata Nursi.