Ahad 13 Nov 2022 07:41 WIB

Mengapa Harun Al-Rasyid Lebih Memilih Manuskrip dari Ganti Rugi Perang? 

Kepemimpinan Harun Al-Rasyid jadi puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Manuskrip Arab mewakili warisan dan harta kemanusiaan. Kepemimpinan Harun Al-Rasyid jadi puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah
Foto: Saudi Gazette
Manuskrip Arab mewakili warisan dan harta kemanusiaan. Kepemimpinan Harun Al-Rasyid jadi puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sultan Harun al-Rasyid (766-809) masih berumur muda saat menjadi penguasa Dinasti Abbasiyah yaitu 20 tahun. 

Namun, karismanya sudah terbangun bahkan sebelum dirinya naik takhta. Sebagai putra Khalifah Muhammad al- Mahdi (745-785), ia tampil memukau dalam memimpin pasukan Muslimin untuk menggempur basis pertahanan Romawi Timur (Bizantium).

Baca Juga

Ia meraih kemenangan demi kemenangan sehingga musuh menyingkir jauh dari wilayah kekhalifahan.

Bahkan, Harun al-Rasyid dapat menguasai Ankara. Sedikit lagi mencapai jantung Bizantium, Konstan tinopel.

Meskipun urung menaklukkan ibu kota lawan, ia tetap mendapatkan pengakuan sebagai pemenang. Ratu Irene Sarantapechaina (752-803) bersedia mengirimkan upeti berupa puluhan ribu keping emas per tahun kepada Baghdad.

Bagaimanapun, Harun melihat ada lagi harta yang terpendam selain kemilau logam mulia.

Seperti diceritakan Roger Garaudy dalam Promes ses de l'Islam, sang pemimpin Muslim itu tak menuntut ganti kerugian perang kepada Bizantium. Ia hanya mendesak musuh untuk menyerahkan manuskrip-manuskrip kuno kepadanya.

Ratu Irene pun mematuhi persyaratan itu. Memang, berbeda kondisinya dengan negeri-negeri Islam kala itu. Barat masih terpuruk dalam stagnansi. 

Geliat intelektualnya kalah jauh dengan wilayah-wilayah Muslim, semisal Baghdad, Basrah, Damaskus, ataupun Andalusia. Peradaban Islam pada masa itu sangat condong pada literasi.

Menurut Roger Garaudy, para sultan menyokong perkembangan ilmu pengetahuan dengan sepenuh hati. 

Umat Islam terbuka terhadap warisan yang kaya dari kebudayaan-kebudayaan dunia yang berusia lebih tua semisal Yunani, Persia, atau China. 

Muslim menghidupkannya dan memperbaruinya dengan worldview yang sejalan Alquran dan sunnah. 

Baca juga: Dulu Anggap Islam Agama Alien, Ini yang Yakinkan Mualaf Chris Skellorn Malah Bersyahadat 

Sesungguhnya, 100 tahun pertama Dinasti Abbasiyah dipimpin para sultan yang mewujudkan kemajuan negeri. Khususnya, sejak zaman Khalifah al-Mahdi hingga Khalifah al-Muta wakkil (847-861). 

Bagaimanapun, era pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid merupakan tonggak penting dalam membuka progres itu lebih lanjut lagi. 

Puncak kejayaan Islam pada abad pertengahan dapat dikatakan bermula sejak masa kekuasaan dirinya serta kemudian anaknya, Abu al-'Abbas Abdullah alias al-Ma'mun (786-833). Itu terjadi di belahan dunia timur. 

Pada saat yang bersamaan, di belahan dunia Barat, tepatnya Andalusia, peradaban Islam pun bersemi, terutama sejak kepemimpinan amir Kordoba, Abdurrahman II (792-852).    

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement