REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Islam mengajarkan tentang cara preventif mencegah munculnya masalah antara suami dan istri. Salah satu cara preventif yang diajarkan dalam Islam adalah memahami pembagian peran di antara mereka. Pembagian peran ini perlu disampaikan secara jelas di awal.
Pembagian peran yang jelas dalam berkeluarga penting karena dalam kehidupan rumah tangga akan ada fase 'berebut kuasa'. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian Michael Gurian.
Buku tafsir Kementerian Agama RI memaparkan ayat yang sering digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan bagaimana pembagian peran dan tanggung jawab dalam keluarga. Ayat yang dimaksud adalah ayat 34 Surah An-Nisa.
Dalam ayat tersebut, suami mengemban peran dan tanggung jawab sebagai qawwam, yang memiliki arti orang yang melaksanakan sesuatu dengan sungguh-sungguh agar memperoleh hasil optimal dan sempurna.
Secara sederhana, suami berperan sebagai pemimpin yang memiliki konsekuensi yaitu ia harus memiliki kesungguhan dalam berupaya memenuhi kebutuhan keluarga, memberi perhatian dan membimbing anggota keluarganya ke jalan yang benar.
Namun, peran kepemimpinan yang diemban oleh suami tidak untuk dijadikan landasan untuk bersikap sewenang-wenang atau bersikap kasar. Peran kepemimpinan ini sering pula dipahami sebagai superioritas pada diri suami sehingga istri dan anak dianggap sebagai bawahan atau orang yang harus menuruti perintahnya.
Terhadap pemahaman tersebut, Allah SWT berfirman, "Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana." (QS Al-Baqarah ayat 228)
Menurut para ahli tafsir atas ayat tersebut, 'darojah' dalam ayat itu, yang diterjemahkan dengan 'kelebihan', merupakan derajat kepemimpinan dalam hal pemenuhan keluarga, mengayomi, membela dan melindungi.
Ahli tafsir Imam at-Thabari menjelaskan, ayat tersebut maksudnya ialah perintah kepada para suami untuk memperlakukan istri dengan cara-cara terpuji, dengan tujuan supaya mereka para suami mendapatkan kelebihan derajat tersebut. Karena itu pula, dalam keluarga, orang yang mengemban peran utama mencari nafkah adalah suami.
Namun, pembagian peran antara suami dan istri bersifat fleksibel, tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi mereka. Misalnya, ketika seorang suami sudah bekerja untuk mencari nafkah tetapi belum bisa dilakukan dengan maksimal dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Di sisi lain, istrinya punya kompetensi atau kemampuan yang dengannya dapat membantu menambah penghasilan keluarga. Dalam kondisi ini, suami dan istri tersebut dapat bermusyawarah mengenai hal tersebut. Ketika hasil dari musyawarah ini adalah istri ikut membantu mencari nafkah, maka ini boleh.
Dalam konteks itu, perempuan tidak hanya dapat berperan menambah pendapatan keluarga, tetapi dia berhak melakukan sesuatu sebagai bentuk aktualisasi dirinya sebagai perempuan.