Kamis 03 Nov 2022 12:59 WIB

Pengaruh Kebudayaan Pra-Islam Terhadap Pemikiran Filsafat Filsuf Muslim

Pemikiran filsuf Muslim terinspirasi sebagiannya dengan filsafat Barat

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi filsuf Muslim. Pemikiran filsuf Muslim terinspirasi sebagiannya dengan filsafat Barat
Foto:

Mengenai teori Aristoteles itu, Ibnu Bajjah menambahkan perihal empat aksiden rohani yang dipandangnya berpusat dalam diri insan. 

Pertama, aksiden yang muncul karena adanya indra. Kedua, aksiden yang lahir lantaran adanya tingkah laku. Misalnya, rasa dahaga membuat orang segera mencari air. Dua aksiden terawal ini tidak hanya ditemukan pada manusia, tetapi juga binatang.

Ketiga, aksiden yang terwujud melalui hasil pemikir an akal rasional. Inilah yang dimiliki manusia (biasa). Keempat, aksiden yang ada akibat akal aktif". Wah yu yang diterima nabi, mimpi yang benar, atau il ham yang diperoleh seorang bijaksana dapat digolong kan ke dalam jenis yang terakhir ini.

Pembahasannya mengenai akal aktif tidak terlepas dari legasi al-Farabi. Sang guru kedua berpandangan, setiap insan memiliki watak bawaan sehingga siap menerima bentuk-bentuk pengetahuan universal, termasuk kebenaran (tentang adanya Tuhan).

Watak bawaan itu diistilahkannya sebagai akal potensial (al-'aql bi al-quwwah). Seperti tampak pada namanya, isinya adalah potensi-potensi yang akan mengabstraksikan bentuk-bentuk pengetahuan yang diserapnya. Akal potensial, setelah itu, meningkat menjadi akal aktual (al-'aql bi al-fi'il).

Proses abstraksi, menurut al-Farabi, hanya dapat terjadi setelah akal potensial menerima cahaya dari akal aktif. Hubungan antara akal aktif dan akal potensial itu seumpama matahari dan mata-manusia. 

Dalam kegelapan yang pekat, sepasang mata hanyalah penglihatan potensial. Sementara itu, matahari yang merupakan sumber cahaya melakukan penyi nar an.

Dengan menerima cahaya atau pantulan caha ya itu, penglihatan potensial mata berubah menjadi penglihatan aktual".

Maka, objek-objek yang tadinya ber potensi dilihat menjadi benar-benar terlihat oleh mata. Lebih lanjut, cahaya matahari pun memung kinkan mata untuk menemukan matahari itu sendiri.

Dengan mekanisme seperti itu, cahaya akal aktif menyebabkan akal potensial berubah menjadi akal aktual yang bahkan bisa memahami akal aktif itu sendiri.

Sampai di sini, tampaklah bahwa al-Farabi dan juga Ibnu Bajjah merupakan kalangan pemikir yang meyakini, pengetahuan tidak diperoleh hanya melalui indra (empiris).

Baca jug: Ditanya Kiai Marsudi Soal KM 50, Prof Mahfud: Bukan Pelanggaran HAM Berat, Tapi…  

Bagi mereka, bantuan akal aktif diperlukan sebagai inteligensi yang mengatur dan membuat manusia bisa mencapai isi ilmu, penalaran apodiktik, atau pengetahuan yang bersifat niscaya.

Terkait itu, Ibnu Bajjah menggagas klasifikasi manusia berdasarkan pertalian mereka dengan aka aktif. Pertalian yang dimaksud tidak bersifat afektif, apalagi indrawi, melainkan intelektual.

Gagasannya itu dituangkan dalam kitab Risalat al-Ittishal al-'Aql bi al-Insan (Uraian tentang Persatuan Intelek dengan Manusia).

 

Karya itu merupakan himpunan surat-menyurat yang dilakukannya dengan murid kesayangan, Ibnu al-Imam. Karena termaktub di sana, buah pikirnya mengenai kelas-kelas manusia itu di kemudian hari dikenal sebagai Teori Ittishal.      

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement