Senin 31 Oct 2022 12:34 WIB

Ibnu Taimiyah: Sang Pembaru Pencetus Neo-Sufisme

Kritik terkeras Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf adalah pada tasawuf falsafi.

Ibnu Taimiyah (ilustrasi). Ibnu Taimiyah: Sang Pembaru Pencetus Neo-Sufisme
Foto:

Namun, proyek sintesa ortodoksi dengan sufisme yang tercermin dalam sufisme ortodoks al-Ghazali justru menyisakan bahaya besar bagi perkembangan sufisme di kemudian hari. Kegiatan kritis, sintesis dan pembaruan al-Ghazali, pada waktu yang sama, ternyata menjadi titik balik dalam sejarah spiritual Islam, dan memaksa aliran ide-ide di masyarakat ke arah divisi-divisi dan kombinasi-kombinasi baru (Rahman, 2003: 208). Bahaya besar yang lahir pascasintesa tersebut adalah dua hal berikut; pertama, munculnya bermacam-macam tarikat.

Tasawuf yang sebelumnya hanyalah sebuah ajaran spiritual yang tersistematisir, pasca-Ghazali justru berubah menjadi sebuah ikatan persaudaraan yang teroganisir, memiliki sistem dan silabus sendiri-sendiri. Agama populer (religion within religion) inilah yang memiliki andil sangat signifikan dalam proses kemorosotan serta degradasi umat Islam pasca al-Ghazali.

Seperti diketahui bahwa al-Ghazali hidup pada masa era perang salib. Sebagai seorang ulama ia semestinya menggelorakan perlawanan untuk kaum Salib yang tengah menjadi bahaya di ufuk mata. Namun nyatanya al-Ghazali justru memilih jalur skeptis terhadap dunia aktivisme dan mengambil jalan uzlah serta mengajak umat Islam bertobat, sebab Perang Salib baginya adalah hukuman yang ditimpakan Allah kepada kaum muslimin sebab dosa-dosa mereka (Hilmi, 2005: 285).

Bahaya kedua yang menjadi ekses di luar skenario yang dirancang al-Ghazali adalah berkembangnya theosofi sufi (Rahman, 2003: 203). Ibnu Taimiyah sendiri menuduh bahwa genealogi thesofi sufi (tasawuf falsafi) bisa dilacak pada pemikiran al-Ghazali dalam karyanya Misykatul Anwar dan Kimiau Saadah. Pemikiran al-Ghazali tentang kasyf menjadi gerbang pembuka bagi munculnya pemikiran spekulatif di bidang tasawuf yang muncul di kemudian hari.

Namun demikian, para theosufis sendiri sesungguhnya enggan mengakui al-Ghazali sebagai sosok yang melempengkan jalan bagi proyek yang mereka usung. Dalam Magnum Opus-nya “al-Futuhat al-Makkiyah” Ibnu Arabi mengatakan bahwa al-Ghazali belum mencapai derajat “dekat dengan Allah”, karena ia masih berpandangan bahwa kenabian adalah pintu yang sudah tertutup sementara para theosofis mengimani bahwa wahyu belumlah selesai (Hilmi, 2005: 286).

Neo-Sufisme Ibnu Taimiyah

Neo sufisme adalah sufisme yang telah diperharui (reformed sufism) (Rahman, 2003: 285). Sumbangan positif yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dalam neo-sufismenya adalah penekanan motif moral tasawuf dan penerimaan sebagian tehnik dzikr, muraqabah dan konsentrasi spiritualnya. Namun obyek dan kandungan konsentrasi ini diidentikkan dengan doktrin ortodoks dan tujuannya didefinisikan kembali sebagai penguatan iman kepada ajaran-ajaran dogmatis dan kesucian moral jiwa.

Dalam neo-sufismenya, Ibnu Taimiyah memasukkan unsur purifikasi yang ia anggap dapat mendorong secara efektif rekonstruksi sosial masyarakat muslim. Ia juga menekankan corak aktivisme ketimbang pasifitas dalam menghadapi kehidupan. Doktrin asketisme (zuhud) yang eksesif dan uzlah yang kontraproduktif bagi perubahan tidak tersisa sama sekali dalam gagasan genial neo-sufisme Ibnu Taimiyah.

sumber : https://suaramuhammadiyah.id/2022/10/26/ibnu-taimiyah-sang-pembaru/
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement