REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Ihya Ulumiddin, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjelaskan hakikat syukur adalah menghayati hanya Allah yang memberikan nikmat di alam ini. Dengan memahami itu, hati menjadi gembira, senang. Kemudian, kesenangan itu menjadi motivasi untuk menambah ibadah dan amal kebaikan.
Hati yang bersyukur menyimpan dan menyembunyikan kebaikan yang telah diperbuat.Energi kebaikan ditunjukkan dengan zikir kepada Allah. Lisan yang bersyukur selalu memuji Allah, seperti mengucapkan alhamdulillah.
Anggota tubuh akan mengekspresikan syukur dengan ketaatan, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya. Mata yang merefleksikan syukur, kata al-Ghazali, menutup setiap aib yang terlihat dan menjauhkan pandangan dari maksiat. Kedua telinga menghindar dari mendengar perkataan kotor yang mengeraskan hati. Tangan digunakan untuk membantu orang lain. Kaki digunakan untuk melangkah menuju kebaikan, dan seterusnya.
Orang yang bersyukur, ketika azan berkumandang, seluruh tubuhnya langsung tergerak untuk segera mendirikan shalat. Saat menyaksikan orang lain meminta bantuan, dia langsung memberikan apa yang diperlukan, entah itu berupa harta atau tenaga.
Saat datang waktu berpuasa, dia menahan diri dari lapar, haus, segala perbuatan tercela, dan menggiatkan ibadah. Saat mendapatkan rezeki dan harta, dia terlebih dahulu memanfaatkannya untuk membayar zakat, berinfak, bahkan mewakafkan sebagiannya kepada pihak lain untuk kemaslahatan orang banyak.
Dengan bersyukur, Allah akan terasa dekat, bahkan semakin cinta dengan menambahkan nikmat kepada si hamba. Akal orang yang bersyu kur akan sampai kepada ma'rifatullah(daa'iya tun ilal ma'arif) dekat dengan Allah, dan tinggi derajatnya (`uluwwud darajaat), sebagaimana dijelaskan Sulthanul Ulama Izzuddin bin Abdissalam dalam Syajaratul Ma'arif.