REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap manusia datang ke dunia ini dengan ketetapan Allah, dan bersamanya, menjalani perjalanan hidup yang telah ditentukan sebelumnya, ditulis dan disahkan oleh Allah SWT sendiri. Masing-masing dari kita memiliki jalan yang unik, perjalanan melalui tempat tinggal sementara, yang penuh dengan rintangan, tantangan, hukuman, dan banyak hadiah.
Bagi Muslim, la-ilaha-ill-Allah (frasa yang menunjukkan bahwa tidak ada Tuhan, kecuali Allah), lebih dari sekadar ucapan keyakinan, melainkan mewujudkan keseluruhan menjadi Muslim. Ketika seorang Muslim mengucapkan bagian pertama dari syahadat ini, dia tunduk secara total pada kehendak Allah, karena alasan sederhana, tidak ada tuhan yang layak disembah, kecuali Allah.
Sayangnya, manusia mudah tergoda dan terkadang seseorang dapat melihat bentuk ibadah lain, seperti jalur karier, uang, kekuasaan, hubungan bahkan, atau keinginan akan hadiah duniawi. Ketika ini terjadi, fokus ibadah orang ini berubah menjadi fokus pada kesenangan duniawi dan kemudian mencari kesenangan dalam hidup, dia mungkin menjadi terlalu fokus pada objek obsesinya.
Bagi seseorang yang melupakan kepercayaan pada satu Tuhan, lebih mudah baginya untuk jatuh ke dalam kesedihan, dan bahkan depresi klinis ketika keadaan menjadi sulit. Tetapi orang yang percaya diingatkan bahwa “Sekali-kali tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami.” (QS. At-Taubah:51)
Sering diingatkan akan selalu ada tantangan dalam hidup yang akan memaksa mereka untuk berpikir dan berefleksi dan setiap tantangan sebenarnya telah disesuaikan secara unik agar sesuai dengan situasi, lingkungan, kepribadian dan kekuatan fisik atau mental setiap orang.
Tawakal, kepercayaan penuh kepada Allah akan mampu menangani situasi secara lebih positif, dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki kepercayaan itu. Ada banyak cara untuk mencapai tawakal.
Tidak ada manusia yang bisa lepas dari kesedihan. Namun dalam Islam, ada cara untuk mengurangi kesedihan atau kesedihan, dengan memohon kepada Allah untuk memberikan kekuatan dan kesabaran.
Nabi Muhammad SAW menggambarkan air matanya atas kematian putranya, Ibrahim, sebagai bagian dari kemanusiaannya. Air mata yang keluar dari mata dan hati adalah dari Allah, seperti yang datang keikhlasan. Meneteskan air mata memungkinkan emosi negatif dilepaskan daripada berubah menjadi kemarahan atau kepahitan yang memakan diri sendiri yang pada akhirnya bisa menghancurkan tawakal seseorang.
Namun, menangis saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kebijaksanaan reflektif. Meskipun Allah menangkap setiap air mata seorang mukmin sejati, kesedihan yang berlebihan dapat menyebabkan depresi, yang juga membahayakan diri sendiri.
Dalam kesedihan, umat Islam perlu mengingat ada cara untuk mengingat Allah – mungkin melalui ibadah, doa seperti istikharah (doa untuk bimbingan), dan bahkan dzikir (mengingat Allah terus-menerus). Allah SWT berjanji, bagi orang-orang yang bertakwa, Dia akan menurunkan ketenangan dan ketentraman atas mereka.