REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Konten-konten yang memuat ujaran kebencian, cacian, hinaan dan hoaks bertebaran di berbagai platform media sosial. Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media (P2KM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Deden Mauli Darajat mengatakan konten-konten yang memuat propaganda, ujaran kebencian, caci maki, hoaks dan sejenisnya terlihat mulai marak dan berdampak pada polarisasi di tengah masyarakat ketika pemilihan Gubernur DKI 2012. Polarisasi masyarakat semakin nampak pada Pilpres 2014 dan semakin meruncing ketika gelaran Pilgub 2017 dan Pilpres 2019.
Bahkan sejak itu masing-masing pendukung memberikan penamaan yang berkonotasi ejekan kepada pendukung lainnya. Selain latar belakang politik, menurut Deden maraknya konten-konten berisi ujaran kebencian, cacian, hinaan dan hoaks di medsos juga tak lepas dari lemahnya tanggung jawab dan kesadaran masyarakat terhadap aturan dalam bermedia sosial yang termuat dalam sejumlah Undang-undang seperti UU 1945 pasal 28 tentang Kebebasan Berpendapat, UU tahun 1999 tentang Pers hingga UU ITE 2008 junto 2016 nomor 19.
"Orang lupa bahwa kita bebas bersuara tetapi sebenarnya kebebasan kita itu terbatas dengan kebebasan orang lain. Pendapat kita harus dipertanggungjawabkan di depan umum," kata Deden kepada Republika beberapa hari lalu.
Sejak saat itu menurut Deden banyak juga akun anonim yang berupaya memecah belah masyarakat dengan mengunggah propaganda, mencaci maki dan menebarkan hoaks. Karena itu menurut Deden untuk mencegah penyebaran konten berisi ujaran kebencian dan hoaks perlu terus dilakukan penguatan literasi media sosial dan digital yang menjunjung tinggi nilai kebaikan dan kebenaran. Menurutnya setiap pengguna medsos harus mempunyai self filter agar dapat memilah informasi yang benar dan yang salah dengan senantiasa melakukan verifikasi terhadap informasi apapun. Selain itu yang juga penting adalah mengedepankan etika dan moral ketika berselancar di dunia maya.
"Kita harus sadar bahwa apa yang dilakukan di media online harus sama dengan yang kita lakukan offline, misalnya kebaikan seperti menyapa dengan baik, tidak berkata kasar, tidak mencaci. Ketika kita sudah memiliki moralitas tinggi, etika yang baik, akhlakul karimah kita kedepankan maka bermedia sosial juga akan baik," katanya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Komunikonten (Institut Media Sosial dan Diplomasi) Hariqo Wibawa Satria berpendapat ada kejenuhan masyarakat menggunakan media sosial. Bahkan sebagian orang memilih beralih kepada platform media yang dapat menghasilkan pendapatan ekonomi seperti marketplace. Masyarakat kembali terlihat aktif membuka sosial media hanya ketika ada isu-isu besar.
Karena itu menurutnya ujaran kebencian dan hoaks di media sosial juga mengalami penurunan. Terlebih pengguna media sosial semakin banyak yang menyadari untuk tidak melakukan ujaran kebencian di medsos. Kendati demikian menurutnya ada juga kekhawatiran atau ketakutan di tengah masyarakat untuk menyampaikan pendapat atau kritikan berkaitan dengan kebijakan pemerintah di media sosial. Menurut Hariqo dalam demokrasi digital masyarakat boleh mengkritik pelayanan yang diberikan pemerintah maupun swasta tanpa harus merasa takut atau khawatir mendapat intimidasi. Namun demikian cara-cara yang dilakukan pun harus baik dan benar dan tidak melakukan ujaran kebencian.
Sementara itu Hariqo menilai masih banyak dari kalangan akademisi yang tidak aktif dalam merespon isu-isu sosial yang menjadi topik di media sosial. Padahal sejatinya pendapat para akademisi sangat diharapkan oleh para pengguna media sosial.
"Mereka (akademisi) harus keluar dari kungkungan kerja-kerja akademis untuk merespon isu-isu sosial karena mereka terpelajar dan lebih bisa menyampaikan. Bila tidak, kita khawatir medsos dikuasai orang yang tak memiliki basis akademis. Sehingga seperti kasus Eko Kuntadhi dia tidak kuat literasi tak punya kemampuan memahami kitab klasik, begitu ada ustazah dari pesantren menjelaskan langsung dia hujat, itukan bodoh mamanya," katanya.