REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ulama dan pemikir asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi mengungkapkan tiga alasan manusia tidak boleh mengeluh atas musibah yang dialaminya ataupun penyakit yang dideritanya. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan Nursi pada “Kalimat Kedua Puluh Enam” yang secara khusus membahas masalah takdir.
"Sesungguhnya manusia tidak berhak mengeluhkan musibah dan penyakit yang menimpanya karena tiga alasan," kata Nursi dikutip dari karya Said Nursi yang berjudul Al-Lama'at, halaman 12-13.
Pertama, menurut Nursi, Allah Ta'ala menjadikan busana eksistensi yang Dia pakaikan kepada manusia sebagai petunjuk atas kreasi-Nya. Sebab, Dia menciptakan manusia dalam bentuk “model” yang dipaparkan pada dirinya pakaian eksistensi, yang diganti, digunting, diubah, dan dimodifikasi untuk menjelaskan manifestasi Asmaul Husna yang beraneka ragam.
Sebagaimana nama-Nya “Asy-Syafi" (Maha Menyembuhkan) menuntut adanya penyakit. Begitu juga “Ar- Razzaq” (Maha Pemberi Rizki), menuntut adanya rasa lapar. Demikianlah, Allah Ta'ala adalah pemilik kerajaan. Dia berbuat dalam kerajaan-Nya apa saja yang dikehendaki-Nya.
Kedua, sesungguhnya kehidupan menjadi jernih oleh musibah dan bala, serta menjadi bersih oleh penyakit dan bencana. Semua itu menjadikan hidup mencapai kesempurnaan, kuat, meningkat, produktif, serta mencapai tujuan dan targetnya. Dengan demikian, kehidupan telah melaksanakan kewajibannya.
Sedangkan kehidupan monoton yang hanya berjalan dengan satu corak dan berjalan di atas hamparan kenikmatan, lebih dekat kepada “ketiadaan” yang merupakan keburukan mutlak ketimbang kepada “keberadaan” yang merupakan kebajikan mutlak. bahkan, ia sudah mengarah kepada ketiadaan.
Alasan ketiga, dunia merupakan medan ujian dan cobaan. Menurut Nursi, dunia adalah tempat beramal dan beribadah, bukan tempat bersenang-senang dan berleha-leha, serta bukan pula tempat menerima imbalan dan pahala. Nah, selama dunia merupakan tempat beramal dan beribadah, maka penyakit dan cobaaan—selain yang berkaitan dengan agama dan dengan syarat diterima dengan sabar—menjadi selaras dengan amal, bahkan amat harmonis dengan ibadah tersebut. Sebab, kedua hal tersebut menguatkan amal dan mengencangkan ibadah.
"Karena itu, tidak diperbolehkan mengeluhkannya. Justru kita harus bersyukur kepada Allah , karena penyakit dan musibah mentransformasi setiap jam dalam kehidupan mereka yang tertimpa musibah menjadi ibadah sehari penuh," jelas Nursi.