REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Banyak masyarakat telah memilih memanfaatkan berbagai platform perdagangan elektronik (e-commerce) untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Namun terkadang ada konsumen yang membatalkan transaksi onlinenya ketika telah terjadi ijab kabul seperti setelah melakukan checkout atau klik oke terhadap barang yang dibeli pada platform e-commerce tertentu. Apakah itu diperbolehkan dalam syariat Islam?
Pakar fiqih Muamalah yang juga Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) ustaz Oni Sahroni mengatakan jika pembatalan transaksi online dilakukan sebelum terjadinya ijab kabul atau akad, maka tidak ada konsekuensi apapun. Sebab menurut ustaz Oni fase ini merupakan fase musawamah atau tawar menawar untuk menyepakati harga barang. Atau disebut juga fase khiyar yaitu fase bagi pembeli maupun penjual menentukan pilihan apakah akan melanjutkan atau membatalkan transaksi. Artinya bila belum terjadi transaksi atau belum ada ijab kabul maka para pihak yakni penjual atau pembeli boleh membatalkan perjanjian.
"Jika pembatalan dilakukan sebelum akad tidak ada konsekuensi apa-apa. Ini fase musawamah. Kalau dibuat perbandingan misalnya dalam tahap khitbah atau masa perkenalan antar calon sebelum terjadi akad nikah, jadi tidak masalah. Diperbolehkan (membatalkan) tentu dengan menunaikan adab-adabnya," kata ustaz Oni dalam kajian virtual konsultasi syariah beberapa hari lalu.
Ustaz Oni mencontohkan A akan membeli barang kepada B melalui salah satu platform e-commerce. A pun telah melihat barang secara daring dan menentukan metode pembayaran. Namun sebelum melakukan transfer (ijab kabul), A membatalkan pembelian barang. Maka hal tersebut dibolehkan. Bahkan menurut ustaz Oni bila memungkinkan seseorang dapat menyampaikan alasannya tidak jadi membeli. Ini merupakan adab ketika konsumen membatalkan rencananya membeli barang. Sementara itu pihak penjual pun harus mengizinkan konsumen membatalkan tanpa membebankan biaya (cost) apapun kepada konsumen.
Lalu bagaimana bila ijab kabul telah terjadi dan konsumen telah melakukan transfer daring kepada penjual? Ustaz Oni mengatakan bila barang telah masuk dalam input barang yang dibeli, konsumen telah menentukan alat bayar, konsumen sudah melakukan checkout atau klik oke terhadap barang yang dibeli dan melakukan transfer maka hal tersebut telah terjadi ijab kabul antara pembeli dan penjual. Dalam kondisi seperti ini yakni telah terjadi transaksi maka kedua belah pihak tidak boleh membatalkan perjanjian. Kecuali dengan adanya persetujuan pihak lain.
"Jika salah satu pihak melajukan pembatalan, maka harusnya dilakukan atas persetujuan. Jadi tidak boleh serta merta salah satu pihak membatalkan akad kecuali persetujuan lain menyetujui. Tetapi jika salah satu piahk membatalkan, misalnya di platform digital, maka harus ada sistem yang memberikan perlindungan kepada konsumen, caranya adalah hak-hak mereka itu harus dikembalikan. Jadi kalau memang uangnya sudah dikirim, segera dikembalikan. Ini harus jelas apa ke rekening e-commerce atau ke rekening si pembeli," katanya.
Ustaz Oni mengatakan bila terjadi pembatalan maka transaksinya menjadi batal (infisakh) sehingga tidak ada akad yang mengikat kedua belah pihak. Maka bila transaksi dibatalkan hak-hak masing-masing itu dikembalikan. Bila ada kerugian akibat pembatalan, pihak yang melakukan dan mengakibatkan kerugian harus mengganti sebesar real cost. Ini sebagaimana dijelaskan dalam fatwa DSN MUI Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh). Bila terjadi pembatalan maka barang yang masih dalam tahap pengiriman dan uang yang sudah ditransfer itu harus dihitung ulang dan diberikan ganti rugi jika ada, sehingga semaksimal mungkin para pihak itu tidak terzalimi (diperlakukan secara adil).
Tentang mekanisme pembatalan beserta konsekuensinya, diatur dalam klausul perjanjian platform online. Dijelaskan tentang seperti apa kondisi yang memungkinkan konsumen membatalkan dan tidak boleh membatalkan. Ketika terjadi pembatalan, mana saja kondisi yang kerugian riilnya ditanggung oleh konsumen atau pihak penjual. Semua mekanisme tersebut merujuk pada tuntunan syariah seputar pembagian kerugian, khiyar, dan komitmen dengan perjanjian serta merujuk pada asas pemenuhan hak kedua belah pihak semaksimal mungkin serta perlindungan konsumen.
"Dibuat klausul dari awal bahwa kalau barangnya tidak ada, tidak tersedia, ada klausul di awal (uangnya konsumen) dikembalikan ke mana. Dan kalau ada kerugian harus dibuat parameter kerugian riil yang harus dikompensasi tersebut," katanya.