REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penulis dan geografer, al-Istakhri dan Ibnu Hawqal menulis, Hama merupakan kota kecil yang nyaman dengan banyaknya pohon dan melimpahnya air, serta hamparan ladang dan buah-buahan. Seorang pengembara, Ibnu Jubair sempat menghabiskan beberapa hari pada 1185 M di Hama. Dalam tulisannya, ia menjelaskan, Hama sebagai kota yang ramai. Ada banyak kincir air yang mengairi ladang dan mengisi sumur tampungan. Tidak perlu takut kehausan.
Sungai yang membelah kota beserta ladang-ladangnya menciptakan pemandangan yang memanjakan mata. Kota Hama sendiri dikelilingi benteng di tiga sisinya dengan sungai sebagai benteng alami pada sisi keempat. Jembatan dari batu dibangun untuk menghu bung kan dua sisi kota.
Pasar-pasar bertebaran. Warga pinggiran tidak perlu ke pusat kota sebab pasar lokal me nyajikan aneka kebutuhan, bahkan lebih meriah dari pasar kota. Ada masjid jami, madrasah, dan rumah sakit. Ada pula tempat peristirahat an di tepian sungai. Sungai itu bernama Al-Asi yang berarti pembangkang. Disebut demikian karena ia mengalir dari bawah ke atas, dari se latan ke utara.
Yaqut al-Hamawi yang juga seorang ahli geografi dan pengembara juga punya catatan tentang Hama pada abad ke-13. Di balik tembok kota terdapat daerah tepian kota yang letaknya di atas Sungai Al-Asi. Di sepanjang sungai ini terdapat banyak kincir air yang mengairi ladang dan mengisi sumur di masjid-masjid.
Di dalam Kota Hama terdapat kastil yang menurut pengamatan mata Ahmad Ibnu Tayibb pada 884 M tampak seperti desa yang dikelilingi benteng batu. Sementara itu, daerah pinggiran juga tidak kalah memesona. Selain memiliki kastil, daerah pinggiran Hama punya banyak to ko dan pasar.
Yaqut juga memberi penjelasan tentang Kurun Hama (Tanduk Hama), yakni dua puncak perbukitan Hama yang saling berhadapan. Perbukitan di kanan Sungai Otontes (Sungai Al-Asi) membentang di kawasan pinggiran Kota Hama yang kemudian bersambung ke jembatan. Tempat itu dikenal sebagai tempatnya para pelintas atau pengelana.