REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pada zaman Rasulullah SAW, terdapat para penyair dari golongan musyrikin. Salah seorang ahli syair itu adalah Umayyah bin Abi Shalt ats-Tsaqafi.
Dia dikenal luas sebagai sastrawan serbabisa. Bagi kaumnya, lelaki itu adalah bintang kebanggaan.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi utusan Allah SWT, kondisi jahiliyah merajalela. Sebagai seorang yang mampu membaca kitab Taurat dan Injil, Umayyah bin Abi Shalt mengetahui bahwa Allah SWT akan mengutus seorang lelaki dari bangsa Arab untuk menjadi penutup para nabi.
Entah apa yang merasuki pikirannya. Ambisinya saat itu adalah menjadi rasul yang dimaksud. Suatu ketika, Ibnu Abi Shalt mengadakan perjalanan ke Syam.
Sesampainya di negeri itu, dia berjumpa dengan seorang pendeta Nasrani. Dari keterangan pendeta tersebut, akhirnya Umayyah mengetahui bahwa sosok nabi akhir zaman akan berasal dari kalangan Quraisy. Usia sosok tersebut saat diangkat menjadi nabi adalah 40 tahun.
Karena itu, dengan serampangan pula Umayyah menduga bahwa sahabatnya, Utbah bin Rabi'ah, akan menjadi nabi. Namun, tentu saja prediksinya meleset.
Seperti dinukilkan dari Ensiklopedia Alquran, dikisahkan bahwa beberapa waktu kemudian Allah SWT mengangkat Nabi Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Syiar Islam pun perlahan tapi pasti kian tersebar.
Umayyah merasa iri hati dan dengki. Dia masih saja berharap bahwa dirinya atau kawan akrabnyalah yang menjadi nabi.
Sejak saat itu, lisan dan hatinya selalu panas saat mengingat Nabi Muhammad SAW. Karya-karyanya pun kerap diwarnai hujatan kepada Rasulullah SAW.
Sebagai contoh, ketika melewati area perkuburan korban Perang Badar dari pihak musyrikin, dia bergumam, “”Seandainya Muhammad seorang nabi, tentu dia tak akan membunuh kerabatnya sendiri.”
Setelah Umayyah bin Abi Shalt meninggal dunia, Rasulullah SAW memanggil saudara perempuan Sang Penyair.
Beliau memintanya agar membacakan sebagian bait syair yang pernah digubah si mendiang. Beberapa puisi ternyata dibuat sebelum hatinya dirasuki kedengkian kepada Nabi Muhammad SAW.
Di antara baris-baris sajak itu adalah sebagai berikut: “Di sisi Tuhan yang memiliki Arsy, kamu sekalian dihadapkan. Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. Sesungguhnya janji-Nya pasti akan ditepati. Tuhanku, jika Engkau memaafkan, maka permaafan itulah keyakinanku. Atau, jika Engkau menghukum, janganlah Engkau hukum orang yang baik-baik.”
Orang yang mengamati gubahan syairnya akan mengetahui bahwa Umayah menyusun syair ini setelah turunnya surat Maryam kepada Rasulullah SAW. Hal ini karena, penyair tersebut meminjam firman Allah SWT dalam surah Maryam ayat 61.
جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدَ الرَّحْمَٰنُ عِبَادَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّهُ كَانَ وَعْدُهُ مَأْتِيًّا “Yaitu surga 'Adn yang telah dijanjikan Tuhan yang Mahapemurah kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun (surga itu) tidak tampak. Sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditepati.”
Karena itu, saat mendengar syair ini, Rasulullah SAW langsung berkata kepada saudara perempuan si mendiang, Syairnya memang beriman, tetapi hati Umayyah kafir.
Disebutkan dalam buku tersebut, mayoritas ahli tafsir dan ulama berpendapat bahwa penyair Umayyah bin Abi Shalt ats-Tsaqafi itulah yang dimaksud Allah SWT sebagai orang yang menuruti hawa nafsunya.
Kelompok penyair yang fasik itu merasa seolah-olah kekal hidup di dunia. Karena itu, sangat bergantung dengan kemewahan hidup duniawi. Semua itulah yang menyebabkan kehancurannya.