REPUBLIKA.CO.ID, "Kota itu (Aleppo) dulu adalah benar-benar kota Utsmaniyah, kota campuran yang terakhir, hubungan antarpenduduknya sangat baik," kata seorang sejarawan, Philip Mansel, seperti dilansir Washington Post. Ia juga yang menulis buku Aleppo: The Rise and Fall of Syria's Great Merchant City.
Menurut dia, kekerasan sektarian sangat jarang terjadi di Aleppo pada masa Utsmaniyah. Sejauh ia teliti, hanya ada satu konflik inter-komunal pada tahun 1850 dan satu di 1919. Itu pun hanya bentrok kecil-kecilan.
Saat kekuatan Eropa menggempur Kesultanan Utsmaniyah di akhir Perang Dunia I, Prancis menyasar Mosul dan Aleppo. Menilik sumber kekayaan minyak dan kekuatan politik, Mosul akhirnya jatuh ke tangan Inggris bersama Basra dan Baghdad yang saat ini menjadi negara Irak. Sementara, Aleppo bersatu dengan Damaskus dan sekitarnya di bawah kekuasaan Prancis.
Pecahnya Irak dan Suriah saat ini merupakan konsekuensi dari politik modern. Perang dan pemerintahan yang tidak stabil membuat telur-telur pemberontakan serta ektremisme mudah menetas.
Kini, kedua negara dihantui perang tak berujung. Penduduknya tak memiliki pilihan selain tinggal tak punya harapan atau mengungsi dengan membawa beragam masalah. Jika perang berakhir pun, membangun kembali kota-kota bersejarah itu sangat butuh perjuangan teramat keras.