REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Berdakwah menyampaikan ilmu agama kepada umat merupakan tugas mulia. Namun ada perselisihan pendapat di antara para ulama terkait penyampaian khutbah dengan bahasa arab.
Dikutip dari buku Fiqih Kontemporer karya Abu Ubaidah Yusuf ibn Mukhtar as-Sidawi, Tidak ada dalil yang tegas bahwa khutbah disyaratkan harus dengan bahasa Arab.
Dan tidak ada nukilan juga dari Nabi ﷺ dan para sahabatnya bahwa mereka berkhutbah dengan selain bahasa Arab padahal ada kaum Muslimin yang non-Arab.
Oleh karenanya, para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Berikut beberapa komentar ulama tentang hal ini:
1. Ibnul ’Ala ' al-Hanafi rahimahullah berkata, “Seandainya seorang berkhutbah dengan bahasa Persia maka boleh menurut Abu Hanifah apa pun keadaannya.” (Al-Fatawa at-Tatarikhaniyyah)
2. Al-Qadhi Abdul Wahhab al-Baghdadi al-Maliki rahimahullah berkata, “Tidak boleh khutbah dengan selain bahasa Arab.” (Al-Ma’unah)
3. Abul Husain al-Imrani asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Disyaratkan khutbah dengan bahasa Arab karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para khalifah setelahnya berkhutbah dengan bahasa Arab, sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, ‘Sholatlah sebagaimana aku shalat.’ Jika di kalangan mereka tidak mengerti bahasa Arab, maka ada kemungkinan boleh dengan bahasa asing. Dan harus ada seorang dari mereka yang belajar untuk khutbah dengan bahasa Arab.” (Al-Bayan)
4. Al-Mardawi al-Hanbali rahimahullah berkata, “Tidak sah khutbah dengan selain bahasa Arab jika ada kemampuan menurut pendapat yang sahih dalam Mazhab (Hanbali). Pendapat lain mengatakan: ‘Sah.’ Adapun jika tidak mampu, maka sah dengan satu pendapat.” (Al-Inshaf)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Khutbah Jumat tidak sah dengan selain bahasa Arab jika mampu menurut pendapat yang kuat, adapun jika tidak mampu maka boleh.” (Taqrirul Qawa’id wa Tahrirul Fawaid).