REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjalanan Nabi Muhammad SAW hingga menjadi pengusaha tidak langsung begitu saja. Beliau SAW memulainya dari nol. Pada awal sebelum menjadi pengusaha, Nabi Muhammad SAW adalah agen bagi beberapa pengusaha kaya di Makkah.
Seperti dikutip dari buku Marketing Muhammad yang ditulis Thorik Gunara dan Utus Hardiono Sudibyo, Nabi Muhammad SAW mendapat banyak pengetahuan ketika menjadi agen bagi para pengusaha kaya saat itu.
Nabi SAW mengetahui lokasi-lokasi perdagangan untuk membeli langsung dari penyuplai atau pemasok, dan juga tempat penjualan atau pasar-pasar di berbagai belahan wilayah Arab. Mulai dari utara, barat hingga daerah timur jazirah Arab.
Beliau SAW juga mengetahui secara rinci kebiasaan penduduk setempat sehingga tahu bagaimana seharusnya melakukan proses perdagangan yang baik dan tepat. Nabi SAW mendasari proses perdagangannya dengan menjalin hubungan yang baik. Dampaknya, beliau SAW punya banyak jaringan untuk mendukung aktivitas perdagangannya.
Jujur adalah perilaku yang dipegang teguh oleh Rasulullah SAW. Tidak hanya dalam perdagangan, tetapi juga dalam kehidupan. Saib bin Ali Saib, yang menceritakan pengalaman berbisnis dengan Nabi Muhammad SAW, menyampaikan bahwa Nabi SAW selalu lurus dalam setiap perhitungan bisnisnya.
Selain itu, Rabi bin Badr, budak dari Thalhah bin Ubaidillah, juga pernah menjadi mitra bisnis Rasulullah SAW. Dia mengatakan Nabi SAW adalah mitra yang terbaik dan tidak pernah menipu. Di antara mereka pun tidak pernah berselisih.
Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil." (QS Al-Baqarah ayat 282)
Dalam bermuamalah tentu terdapat hubungan di antara kedua belah pihak. Salah satu dari kedua pihak memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Hubungan ini misalnya berupa perusahaan dengan mitra bisnis, penyuplai, distributor, investor, pelanggan, maupun karyawannya.
Sedangkan penulisan yang adil menunjukkan bahwa di dalam suatu perjanjian harus ada kejelasan tentang hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak. Dasar dari perjanjian ini ialah kejujuran dan tidak ada pihak yang dirugikan. Dalam proses transaksi, Nabi SAW menekankan pada ketelitian dan rinci.