REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam penegasan tentang tanggung jawab kepemimpinan (qawamah) yang dibebankan atas para suami dalam rumah tangga, disebutkan tentang dua kelompok para istri.
Muhammad Bagir dalam kitab Muamalah Menurut Alquran, Sunnah, dan Para Ulama menjelaskan dua kelompok para istri.
Pertama, istri yang menyandang sifat-sifat terpuji (salehah). Istri yang memelihara kehormatan dirinya dan menjaga baik-baik segala macam rahasia rumah tangganya yang Allah SWT wajibkan untuk dijaga.
Terhadap para istri yang berakhlak mulia seperti itu, para suami wajib memperlakukan mereka dengan sebaik-baik perlakuan sebagai mitranya yang sejajar dengan mengelola rumah tangga dan keluarga. Dan yang pasti didasari mawaddah (saling mencintai) dan rahmat (saling menyayangi dan mengasihi).
Kedua, istri yang memandang rendah suaminya disebabkan dirinya lebih mulia. Istri yang menganggap dirinya lebih tinggi kedudukannya dibanding suami, lebih kaya, atau lebih terpelajar, dan sebagainya. Karenanya, dia selalu enggan atau tidak bersedia untuk tunduk kepada kepemimpinan suami bahkan senantiasa menampakkan keangkuhan dan pembangkangan terhadapnya.
Atau, adakalanya seorang istri biasa memperlakukan suaminya dengan lemah lembut dan kasih sayang, tetapi di suatu saat dia berbalik menjadi pemarah dan kasar. Jika tadinya dia senantiasa menanggapi keinginan suaminya dengan sebaik-baik tanggapan, kini dia menunjukkan sikap acuh tak acuh atau bahkan melakukan penolakan terang-terangan.
Terhadap istri yang menunjukkan gejala seperti itu, jelas sekali hal ini mengancam keutuhan rumah tangga dan keluarga. Dijelaskan bahwa Allah SWT menegaskan kepada para suami akan perlunya beberapa tahapan upaya untuk mengatasinya demi mengembalikan istri kepada kedudukan sebagaimana mestinya dalam agama.
Dalam situasi seperti itu, suami dianjurkan untuk bersedia mawas diri sebab bisa juga sifat buruk istrinya tersebut bermula dari kesalahan sang suami sendiri.
Untuk itu, sebaiknya dilakukan pembicaraan dari hati ke hati antarmereka berdua. Apabila setelah pembicaraan tersebut si istri mengajukan alasan-alasan yang dapat dibenarkan dan menyadari kesalahan serta berjanji tak akan mengulangi lagi, maka suami hendaknya menerima janjinya itu sambil tetap berupaya menarik hatinya dan bersikap lemah lembut pada istri.
Namun apabila si istri masih tetap saja dalam pembangkangannya, maka hendaklah suami memberikan nasihat yang bijak dan sekaligus mengingatkannya tentang tanggung jawab istri dalam keluarga. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat An Nisa ayat 34:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ "... Adapun para istri yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka,".
Jika dengan nasihat tidak memberikan hasil yang nyata, maka suami dapat melanjutkan upaya kedua sebagaimana lanjutan dalam firman Allah SWT tadi:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ "... dan pisahkan diri dari mereka di tempat pembaringan." Maksudnya bukan berpisah tidur darinya, melainkan suami menunjukkan ketidaksenangan terhadap istri baik dengan membelakanginya aau dengan menampakkan sikap tak acuh.
Jika cara tersebut juga tidak ampuh, maka bolehlah suami menggunakan cara 'jalan darurat'. Yakni dengan sedikit gangguan fisik yang ditujukan kepadanya. Itulah yang ada dalam kelanjutan ayat tersebut yaitu: وَاضْرِبُوهُنَّ "... dan pukullah mereka."
Lantas, tindakan fisik semacam apa yang dibolehkan? Rasulullah SAW telah menjelaskan dalam beberapa haditsnya, hanya tindakan fisik yang amat ringan yang dibolehkan. Dan bukan di wajah atau bagian-bagian lain tubuh yang menyakitkan dan berakibat fatal.
Hal ini mengingatkan bahwa yang diperlukan hanyalah demi peringatan atau pengajaran. Bukan demi pelampiasan kebencian, dendam, ataupun pengkhianatan. Rasulullah SAW bahkan bersabda:
لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ "Janganlah seseorang di antara kamu memukuli istrinya di awal hari, seperi layaknya seekor keledai, lalu mencampurinya di malam hari." Nabi Muhammad SAW bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي "Yang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik perlakuannya terhadap istri. Dan akulah, di antara kamu, yang terbaik perlakuannya terhadap istri."