REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ulama sufi ternama, Syekh Abdul Qadir al-Jailani membagi zakat menjadi dua macam, yaitu zakat syariat dan zakat tarekat. Begitu juga dengan ibadah puasa. Zakat dan puasa syariat sendiri mungkin sudah biasa dilakukan umat Islam, tapi bagaimana dengan zakat tarekat, apa itu?
Dalam buku “The Secret of Secrets: Menemukan Hakikat Allah” terbitan TuRos, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan bahwa zakat syariat adalah memberikan sebagian dari hasil usaha duniawi kepada para mustahik pada waktu tertentu, setahun sekali, dan dengan nisab yang ditentukan. Sementara, zakat tarekat adalah memberikan semua hasil usaha ukhrawi di jalan Allah kepada orang-orang fakir agama dan miskin ukhrawi. Zakat tarekat berlaku sepanjang hayat, yaitu menyerahkan pahala usaha ukhrawi kepada para pemaksiat demi meraih ridha Allah, agar Allah berkenan mengampuni mereka.
Dalam terjemahan kitab Sirrul Asrar ini, Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga membagi puasa menjadi dua macam, yaitu puasa syariat dan puasa tarekat. Puasa Syariat adalah menahan diri dari segala macam makanan, minuman, dan menggauli istri di siang hari.
Sedangkan puasa tarekat adalah menahan semua anggota tubuh dari hal-hal yang diharamkan, terlarang, tercela, seperti ujub, sombong, pelit, dan lain sebagainya, baik secara lahir maupun bati. Jika seseorang yang berpuasa tarekat melakukan itu, maka akan batal puasanya.
Nama Syekh Abdul Qadir al-Jailani tidak asing lagi masyarkat muslim Indonesia, terutama bagi kalangan pesantren. Beliau dilahirkan di Kota Jilan, Persia pada 1 Ramadhan 470 Hijriyah atau 1077 Masehi. Beliau merupakan ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu, baik ilmu syariat, ilmu tarekat, maupun bahasa dan sastra Arab.
Ulama sufi yang dijuluki Sulthanul Auliya ini wafat di Baghdad saat usianya menginjak 90 tahun, tepatnya pada 10 Rabiul Akhir 561 Hijriyah atau 1166 Masehi. Selama hidupnya, beliau telah banyak melahirkan murid yang kemudian menjadi ulama besar, diantaranya adalah al-Hafidz Abdul Ghani.
Banyak sekali ulama yang telah menulis kitab tasawuf. Namun, Syekh Abdul Qadir mampu menjelaskan tasawuf secara mendalam dan gamblang. Karena itu, tak heran jika kitab Sirrul Asrar ini menjadi rujukan utama dalam ilmu tasawuf..