Perilaku tersebut bersifat umum. Kita dapat menjabarkannya dengan merujuk pada Alquran dan Assunah. Dalam hal menjawab salam, kita merujuk pada firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala di dalam Alquran surat an-Nisaa (4): 86,
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
Berdasarkan ayat tersebut, jika kita menjawab salam “Assalamu ‘alaikum”, jawaban yang diutamakan adalah (Wa) ‘alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”, sedangkan sekurang-kurangnya adalah (Wa) ‘ailaikumussalam.” Perhatikan! Bukan “Wa ‘alaikum salam”
Keramahan dapat diwujudkan dengan wajah dan gerak-gerik anggota tubuh. Wajah yang ramah ditandai dengan misalnya pandangan mata.
Pandangan mata keramahan berbeda dari pandangan mata kemarahan. Bentuk mulut ketika berbicara ramah berbeda dari bentuk mulut ketika berbicara marah.
Gerak-gerik anggota tubuh orang rendah hati berbeda dari gerak-gerik anggota tubuh orang tinggi hati. Menghormati tamu tanpa membedakan status sosial dapat kita wujudkan misalnya dengan menempatkannya di ruang tamu yang tertata rapi dan bersih.
Tidak kita bedakan tamu yang berstatus sosial tinggi kita tempatkan ruang tamu, sedangkan tamu yang berstatus sosial rendah di teras. Tentu saja, rombongan “pegowes” yang dalam keadaan berkeringat, dapat saja kita terima di teras atau di kebun yang sudah kita kondisikan kenyamanannya.
Mereka biasanya lebih memilih tempat yang demikian. Masih ada lagi. Jika tamu datang bersama anak balita (anak dan/cucu), kita pun menyambutnya dengan ramah. Kita ucapkan salam. Kita ajak bersalaman. Kita sapa.
Kalau belum/tidak mau, bahkan, belum mau masuk, kita tidak perlu memaksanya. Dalam keadaan demikian, ada orang tua yang berkata, “Yah, kok nakal, sih!” Tanggapi kata-kata itu dengan misalnya, “Nggak. Nggak nakal. Saleh.”