REPUBLIKA.CO.ID, - Sejak pertengahan abad ke-10 hingga awal abad ke-11, Kordoba menjadi Permata Eropa. Pusat Daulah Umayyah di Andalusia itu berperan sebagai jembatan peradaban Islam di Benua Biru.
Dari sanalah, orang-orang Barat mulai mengenal dan mempelajari berbagai kemajuan yang dicapai Muslimin.
Prof Raghib as-Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia mengatakan, Kordoba dan Andalusia secara keseluruhan adalah saluran penting untuk proses transfer pemberadaban (civilising) dari Islam ke Eropa (baca: Barat). Hal itu mencakup bidang ilmu, pemikiran, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Wilayah Muslimin ini memang sempat dilanda kekacauan politik yang hebat pascawafatnya al-Muzhaffar pada 1008 M. Namun, Andalusia terus bertahan sebagai mimbar pencerahan hingga titik nadir yang tidak lagi terpulihkan, Reconquista, yang ditandai jatuhnya Granada pada 1492 M.
Keagungan daulah Islam ini diakui para penulis Eropa yang sezaman ataupun era modern. Sosiolog Prancis Gustave Le Bon menulis, “Begitu orang-orang Arab berhasil menaklukkan Spanyol, mereka mulai menegakkan risalah peradaban di sana. Mereka memberikan perhatian yang besar untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan sastra, menerjemahkan buku-buku Yunani dan Latin, dan mendirikan universitas-universitas yang menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan peradaban di Eropa dalam waktu yang lama.”
Mekarnya peradaban Islam di Andalusia juga didukung kebijakan penguasa yang tidak menutup kesempatan bagi siapapun warga. Selama tidak mengancam keamanan negeri, para amir dan khalifah mempersilakan warga dari kalangan Nasrani ataupun Yahudi untuk bekerja di institusi-institusi pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Keberadaan kaum terpelajar non-Muslim bukanlah hal yang tabu di lembaga-lembaga yang dibiayai ne gara. Dengan membangun banyak sarana dan prasarana pendidikan, khalifah dapat menerapkan pembuda yaan dengan medium bahasa Arab.
Orang-orang Spanyol, termasuk yang non-Muslim, menjadi terbiasa berbahasa Arab. Bahkan, menurut as-Sirjani, mereka lebih mengutamakannya daripada bahasa Latin.
Seperti Bait al-Hikmah Baghdad di timur, Kordoba pun menjadi tempat penerjemahan buku-buku ilmiah dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Di antara karya-karya yang diterjemahkan ialah catatan Gallienus, Hippokrates, Plato, Aristoteles, dan Euklid. Sebaliknya, proses alih bahasa dari Arab ke Latin pun gencar dilakukan.
Seorang penerjemah yang masyhur pada masa itu adalah Jirarid ath-Tholtoli. Intelektual kelahiran Italia itu datang ke Toledo pada 1150 M. Dikatakan bahwa ia menerjemahkan 100 buku, termasuk Al-Qanun karya Ibnu Sina dan Al-Manshuri-nya ar-Razi.