Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, — Membaca tarjamah (biografi) para ulama merupakan mut’ah (kenikmatan) aqliyyah dan wijdaniyyah tersendiri.
Kita tidak hanya mendapatkan faidah dari sisi keluasan ilmu yang dikaruniakan Allah SWT kepada mereka, tapi juga bagaimana ilmu itu menjadi sesuatu yang hidup dan membuat mereka menjadi sosok yang memiliki ‘izzah dan haibah yang hakiki.
Setelah menulis tentang tahqiq kitab Nadhul Kalam yang dinisbahkan secara keliru kepada Imam Izzuddin bin Abdussalam, saya tertarik membaca kembali biografi beliau dengan seksama dalam Thabaqat Syafi’iyyah Kubra karya Imam Tajuddin as-Subki.
Ada banyak pelajaran dan pengajaran yang dapat dipetik dari kehidupan sang alim yang diijuluki dengan Sultan al-‘Ulama. Tidak hanya keilmuannya, melainkan juga keberanian dan keistiqamahannya dalam menyampaikan kebenaran.
Imam Tajuddin Subki menceritakan dari ayahnya Imam Taqiyyuddin Subki, dari gurunya Imam al-Baji, dia berkata, “Di hari raya, Imam Izzuddin datang ke qal’ah (benteng) untuk sholat Id bersama sultan (waktu itu penguasa Mesir adalah Najmuddin Ayyub bin al-Kamil). Beliau melihat para tentara berbaris di hadapan sang Sultan yang mengenakan pakaian kebesarannya. Para menteri dan pembesar kerajaan datang sambil menunduk dan mencium lantai di depan Sultan.
Melihat pemandangan itu, Imam al-‘Izz berkata dengan suara lantang, “Hai Ayyub, apa kelak jawaban engkau kalau Allah bertanya padamu: “Bukankah Aku sudah jadikan engkau berkuasa di Mesir, tapi mengapa engkau membiarkan khamar merajalela?”
Sultan terkejut dan bertanya, “Apakah itu terjadi?” Imam al-‘Izz menjawab, “Iya… Kedai fulan menjual khamar. Ditambah kemungkaran yang lain. Sementara engkau bersenang-senang dengan kemewahan sebagai raja.”
Dengan gemetar Sultan berkata, “Ya Sayyidi, bukan aku yang membolehkan semua itu terjadi. Itu sudah ada sejak zaman ayahku dulu.”
Dengan tegas Imam al-‘Izz berkata, “Engkau termasuk orang yang disebut dalam al-Quran, “Sesungguhnya Kami mend apati nenek moyang kami melakukan satu kebiasaan…”. Akhirnya Sultan menginstruksikan berbagai kemungkaran itu untuk dimusnahkan.
Imam al-Baji melanjutkan, “Berita tentang dialog yang terjadi antara Imam al-‘Izz dengan Sang Sultan tersebar luas. Saya datang untuk menemui Imam. Saya bertanya, “Sayyidi, bagaimana kabar Tuan?” Ia menjawab: “Anakku, tadi aku melihatnya (Sultan) berada dalam kemegahan dan kebesaran. Aku sengaja merendahkannya agar dia tidak sombong, karena itu berbahaya bagi dirinya sendiri.” “Sayyidi, apakah engkau tidak takut?”
“Demi Allah, wahai anakku, aku hadirkan kebesaran Allah dalam hatiku, sehingga dalam pandanganku sultan tak ubahnya seperti seekor kucing.”