Kedua, berita ini menandai perhatian yang semakin besar dari pers Belanda terhadap aktivitas sosial Muhammadiyah. Terlebih lagi bila mengingat fakta bahwa di edisi hari itu tidak hanya ada satu berita tentang Muhammadiyah, tapi secara total ada tiga berita di tiga kolom berbeda yang menyebut-nyebut Muhammadiyah.
Pertama, tentang Rumah Yatim Muhammadiyah yang sedang dibahas ini. Kedua, berkaitan dengan posisi Muhammadiyah sebagai rival dari gerakan Ahmadiyah yang kala itu sedang melebarkan pengaruhnya di Hindia Belanda. Ketiga, subsidi Departemen Pendidikan Hindia Belanda terhadap sekolah-sekolah, termasuk milik Muhammadiyah.
Dalam satu dekade kemudian, Rumah Yatim Muhammadiyah semakin berkembang hingga ke luar Yogyakarta. Di Malang, Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah (PAM) Malang telah berdiri sejak tahun 1934. Dalam catatan sejarah yang tertera di situs PAM Malang, diketahui bahwa ada sekitar 20-30 anak yang diasuh di panti asuhan ini di masa kolonial. Secara finansial, panti ini ditopang oleh swadaya masyarakat sekitar serta bantuan tidak tetap dari pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui gubernur jenderalnya, salah satunya bantuan berupa uang sebanyak 250 gulden (setara dengan sekitar 80 kuintal beras) dari Ratu Belanda, Wilhelmina.
Tidak hanya di Malang Muhammadiyah mendirikan Rumah Yatim. Menurut pengamatan salah satu referensi pokok tentang sejarah Hindia Belanda yang terbit pada masa kolonial, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, per tahun 1939, Muhammadiyah telah berhasil mendirikan panti asuhan yatim di berbagai kota di Pulau Jawa. Ensiklopedi itu menyebut sembilan kota, yakni Yogyakarta, Kartasura, Tegal, Kutoarjo, Mojokerto, Malang, Bandung, Tasikmalaya, dan Meester-Cornelis (Batavia).
Yang patut dicatat, ensiklopedi ini menekankan bahwa kota-kota yang disebutkannya di atas barulah ‘o.a.’ (onder andere) atau ‘antara lain’. Itu artinya, jumlah panti asuhan Muhammadiyah di tahun 1939 itu sebenarnya lebih banyak lagi.