REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Berbeda penanggalan Hijriyah adalah hal biasa, tapi perbedaan penanggalan di Dzulhijjah menjadi sedikit menarik karena berkaitan dengan ritual haji hingga sunnah puasa Arafah.
Seperti diketahui, merujuk pada ketetapan sidang isbat Pemerintah, Muslim di Indonesia akan merayakan Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriyah pada Ahad (10/7/2022), berbeda dengan Arab Saudi yang menetapkannya pada Sabtu (9/7/2022). Keputusan Arab Saudi ini juga sama dengan ketetapan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Terutama terkait puasa Arafah, perbedaan penanggalan akan berdampak pada perbedaan waktu antara waktu wukuf di Arafah para jamaah haji dengan puasa sunnah Arafah yang dilakukan oleh Muslim non jamaah haji.
Ada pendapat yang berkata bahwa waktu puasa Arafah harus bersamaan dengan waktu wukuf, ada juga yang berpendapat bahwa puasa ini disesuaikan dengan penanggalan Hijriiyah atau pada 9 Dzulhijjah. Bagaimana pendapat ulama terkait ini?
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Halal dan Ekonomi Syariah, KH Sholahuddin Al-Aiyub, mengatakan terkait masalah ini, para ulama memang terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat).
Ada yang menyebut puasa Arafah harus bertepatan dengan waktu ritual wukuf Arafah ada juga yang berpendapat harus sesuai penanggalan Dzulhijjah di wilayah masing-masing.
"Ikhtilaf antara ulama ada yang menyatakan bahwa patokannya adalah tanggal 9 Dzulhijjah yang ada di Arab Saudi, karena haji saat itu sedang wukuf dan wukuf nya di sana. Tapi sebagian besar ulama yang lain menyatakan Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa yang namanya hari Arafah ini 9 Dzulhijjah kalau kita ikut itu (Arab Saudi) ya tanggal 8 itu hari tarwiyah bukan Arafah,"katanya, Sabtu (2/7/2022).
"Karena itu, banyak juga yang berfatwa yang namanya puasa hari Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah mengikuti teks hadist-nya," tambahnya.
Kiai Sholahuddin menjelaskan, umat bisa mengambil pendapat sesuai keyakinan masing-masing. Hal ini karena memang kedua pendapat tersebut masing-masing memiliki landasan dalil yang kuat.
Terkait perbedaan ini juga, dia berpesan agar umat tidak menjadikannya alasan perpecahan, tapi justru menjadi alasan untuk saling menghormati. Karena perbedaan, selagi itu mempunyai dalil yang benar dari Alquran dan sunnah, dibenarkan dalam Islam.
"Siapa mengikuti siapa adalah sesuatu yang lazim, biasa sesuai keyakinan masing masing. Masing-masing juga istidlalnya ada dalilnya. Tinggal masing masing harus mempunyai hati yang terbuka untuk menerima perbedaan ini karena ini adalah bagian dari ikhtilaf yang supioga membawa rahmat,"katanya.
"Kadang itu runcing (kritis) tapi mereka ternyata nggak puasa. Meramaikan saja, tapi malah nggak puasa,"ujarnya.
Seperti diketahui, puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan sehari sebelum hari Raya Idul Adha, tepatnya 9 Dzulhijjah. Puasa arafah dapat menjadi penebus dosa tahun sebelumnya dan satu tahun yang akan datang.
Keistimewaan puasa ini dijelaskan Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat dari Abu Qatadah sebagai berikut:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى الله أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari Arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini sebagai penebus (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya,"(HR Muslim).