REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hukum menikah bukanlah tunggal. Islam memang mensyariatkan umatnya untuk menikah, namun tidak semua kondisi seseorang menjadikannya wajib melaksanakan pernikahan.
Nikah bisa menjadi wajib, sunnah, makruh, bahkan haram jika ditinjau dari kondisi individu masing-masing yang mengacu pada fikih. Lantas dalam kondisi apa nikah dapat menjadi makruh hukumnya?
Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunnah, dan Para Ulama menjelaskan, pernikahan menjadi makruh (kurang disukai menurut hukum agama) bagi seorang laki-laki yang sebetulnya tidak membutuhkan perkawinan.
Baik itu disebabkan tidak mampu memenuhi hak calon istri yang bersifat nafkah lahiriah, maupun si perempuan tidak memiliki hasrat (atau kemampuan) seksual, sementara si perempuan tidak merasa terganggu dengan ketidakmampuan si calon suami.
Misalnya, karena perempuan itu kebetulan seorang kaya raya dan juga tidak memiliki hasrat kuat untuk melakukan hubungan seksual. Kurang disukainya perkawinan seperti itu (meskipun tidak dinilai haram), terutama bila dapat mengakibatkan si laki-laki seperti itu meninggalkan kegiatannya dalam beribadah.
Ataupun dalam menuntut ilmu yang biasa dilakukannya sebelum itu. Sedangkan pernikahan bisa mennjadi mubah jika dikerjakan apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk melakukannya ataupun meninggalkannya. Yaitu tentunya mengacu dengan pandangan syariat.