REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kematian itu sesungguhnya adalah proses alami dan menjadi bagian integral dari kehidupan itu sendiri.
Artinya, ketika ada kehidupan realitanya ada kematian dan kalau berani hidup juga berarti siap untuk mati. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al Mulk ayat 2:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun.”
“Dia Allah Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kalian yang terbaik dalam amalan.”
Kematian adalah bagian dari putaran kehidupan yang bersifat menyeluruh. Dan seorang Mukmin tidak memisahkan di antara fase-fase kehidupan sehingga semua proses dan tingkatan yang terjadi dalam hidupnya menjadi konsep kesatuan yang terintegrasi (integrated).
Kematian adalah sebuah kepastian yang diyakini oleh semua makhluk. Dan karenanya kematian dimaknai juga sebagai al-yaqiin atau keyakinan sebagaimana keterangan yang dapat ditemukan dalam surat Al Hijr ayat 99:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ "Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).”
Tak ada satu pun manusia yang tahu kapan kematian akan menjemputnya. Namun secara fisik, mendekati kematian terdapat tanda-tanda yang dapat diamati.
Disebutkan dalam Shahih Muslim dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ الرُّوحَ إذَا قُبِضَ تَبِعَهُ البَصَرُ "Inna arruha idza qubidha tabi'ahul-basharu." Yang artinya: "Sesungguhnya roh jika dicabut akan diikuti oleh arah pandangan mata." Dalam hadits lainnya, Rasulullah SAW berkata:
اِذَا حَضَرْتُمْ مَوْتَاكُمْ فَأَغْمِضُوْا البَصَرَ، فَإِنَّ البَصَرَ يَتْبَعُ الرُّوْحَ وَقُوْلُوْا خَيْرًا فَإِنَّ المَلَائِكَةَ تُؤَمِّنُ عَلَى مَا يَقُوْلُ اَهْلُ البَيِّتِ
"Idza hadhartum mautakum fa-aghmidhulbashara, fa innal-bashara yutbi'u ar-ruha, wa quuluu khairan fa innal malaikata tuamminu ala maa yaquulu ahlul-baiti."
Yang artinya, "Jika kalian menghadiri jenazah seseorang, maka pejamkanlah matanya. Karena sesungguhnya pandangan itu mengikuti ke mana roh pergi. Ucapkanlah hal-hal yang baik saja, karena sesungguhnya (malaikat) mengaminkan apa yang dikatakan oleh keluarga jenazah."
Endy Astiwara dalam buku Fikih Kedokteran Kontemporer menjelaskan bahwa Imam Al-Ghazali secara tepat telah mendefinisikan kematian sebagai bentuk pembangkangan organ tubuh terhadap roh sampai tidak satu pun organ tubuh itu bercampur dengan roh.
Kesimpulannya, kematian dapat ditetapkan dengan hilangnya tanda-tanda kehidupan. Tanda-tanda tersebut merupakan bukti nyata yang dapat dilihat dengan mata dan perasaan, semua orang dapat mengetahuinya.
Imam An-Nawawi menambahkan klausul penting jika terdapat keraguan dalam hal tersebut. Menurutnya, jika terjadi keraguan disebabkan karena tidak adanya tanda-tanda kematian dan kemungkinan masih tahap koma, atau terlihat tanda-tanda mengkhawatirkan atau yang lainnya, maka tundalah sampai terjadinya perubahan aroma atau (tanda meyakinkan) yang lainnya.