REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Ketika ada kabar berita yang belum jelas kebenarannya datang dari orang-orang fasik, maka hendaknya seorang mukmin jangan langsung mempercayainya. Melainkan mencari tahu terlebih dahulu kejelasan dan kebenaran (tabayyun) tentang kabar berita tersebut. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Alquran surat Al Hujurat ayat 6)
Syekh Muhammad Ali Ash Shobuni dalam kitab at tafsir rawai'ul al Bayan Fi Tafsir Ayat Al Ahkam Min Alquran menjelaskan orang fasik itu adalah orang yang keluar dari batas-batas syariat. Disebut fasik karena terlepasnya orang tersebut dari kebaikan.
"Jadi kalau orang itu keluar dari kebaikan, lepas dari kebaikan, itu disebut fasik. Orang misalnya suka berbuat baik, jujur, tiba-tiba dia berbohong, keluar dari kejujuran itu adalah tindakan fasik. Termasuk orang melakukan maksiat," kata da'i yang juga Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, KH. Samsul Ma'arif dalam program dialog dzuhur Masjid Istiqlal Jakarta mengaji kitab at tafsir rawai'ul al Bayan Fi Tafsir Ayat Al Ahkam Min Alquran karya syekh Muhammad Ali Ash Shobuni yang juga disiarkan kanal Masjid Istiqlal TV beberapa hari lalu.
Lebih lanjut kiai Samsul menukil keterangan dalam kitab lisanul arab yang ditulis Ibnu Mandzur bahwa fasik itu durhaka atau maksiat (alisyan), meninggalkan perintah Allah, dan keluar dari jalan yang haq.
Kiai Samsul mengatakan kata naba dalam surat Al Hujurat ayat 6 artinya berita. Sebagian ahli bahasa mengatakan naba bukan sekedar berita biasa, tetapi artinya berita yang sangat penting. Sedang tabayyun memiliki makna mencari penjelasan dan mengetahuinya (tholabul bayyan wa ta'aruf) atau istilah saat ini mengklarifikasi. Karena itu, kiai Samsul mengatakan bila ada orang yang fasik datang membawa sebuah berita maka orang beriman harus mengklarifikasinya terlebih dulu.
Menurut kiai Samsul secara umum surat Al Hujurat ayat 6 memberitahukan manakala mendapat informasi, terlebih informasi tersebut tidak diketahui kejelasan sumber dan kebenarannya, maka tidak boleh bagi seorang mukmin menyebarnya sebelum melakukan tabayyun. Apalagi bila berita tersebut mempunyai potensi kebohongan, memecah belah, menjatuhkan orang lain.
Kiai Samsul menjelaskan asbabub nuzul surat Al Hujurat ayat 6 sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad, bahwa seorang sahabat bernama al Harits datang kepada Rasulullah. Dan Rasulullah mengajaknya memeluk Islam. Ia kemudian berikrar memeluk Islam. Kemudian rasul memberinya tugas padanya untuk membayar zakat. Sahabat Harist memiliki semangat yang tinggi dan berkeinginan mengajak orang-orang di kampungnya agar memeluk Islam dan membayar zakat. Hal itu pun dilakukan olehnya.
Namun demikian setelah lama sahabat Harits tidak juga datang, sehingga rasul mengutus al Walid untuk melihat keadaan Harits. Tetapi baru setengah perjalanan al Walid kembali ke rasul dan menyampaikan bahwa dirinya tidak boleh menemui Harits dan akan dibunuh oleh Harits.
Rasul pun kembali mengutus satu pasukan untuk menemui Harits. Hingga di tengah perjalanan pasukan utusan rasul itu bertemu dengan Harits yang akan menghadap rasul. Utusan itu pun mengkonfirmasi kepada Harits tentang kabar bahwa Harits telah mencegah utusan rasul dan akan membunuhnya. Harits pun menampik kabar tersebut seraya bersumpah bahwa hal itu tidak benar.
"Karena itu kita perlu hati-hati zaman sekarang ini terkait dengan berita, apalagi berita itu yang memungkinkan untuk membunuh karakter orang lain, menjatuhkan wibawa orang lain, merugikan orang lain, memecah belah bangsa, maka jangan cepat-cepat diterima," katanya.