REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pada 1333 Masehi atau sekira 732 Hijriyah, Ibnu Battutah mengunjungi Samarkand. Dalam catatan petualang asal Maroko itu, daerah tersebut digambarkannya sebagai salah satu kota terbaik dan terbesar di dunia Islam.
Bahkan, sang penulis Ar-Rihlah itu menganggap, kota yang terletak di kawasan Transoxiana, Asia tengah, itu adalah yang terkemuka di antara mereka semua.
Pujian Ibnu Battuta bukan tanpa alasan. Sejak awal abad ke-14, Samarkand semakin menjadi kota yang sangat berbudaya dan makmur. Keadaannya jauh membaik apabila dibandingkan kondisi pada 100 tahun sebelumnya, terutama usai diserbu bala tentara Mongol yang dipimpin Temujin alias Jenghis Khan.
Waktu itu, dasawarsa awal abad ke-13, Samarkand menjadi bagian dari wilayah Khawarizma. Raja di nasti tersebut, Shah Muhammad II, memancing per musuhan bangsa Mongol dengan jalan membunuh para duta Jenghis Khan. Tak disangkanya, pasukan dari Asia timur itu sangat banyak dan kuat.
Serbuan mereka tidak hanya menghabisi nyawa Shah Muhammad sendiri, tetapi juga seluruh riwayat Dinasti Khawarizma. Pada era Jenghis Khan, rakyat Samarkand umum nya hidup terkekang.
Sang khan agung menempatkan orang-orang dari luar kota tersebut untuk memimpin penduduk setempat. Mayoritas Muslim dibatasi hak-haknya dalam mengelola lahan pertanian.
Pada Agustus 1227, Jenghis Khan tutup usia. Sepeninggalannya, wilayah kekaisaran Mongol dibagi-bagi kepada keempat putranya. Asia tengah menjadi jatah bagi si anak sulung, Chaghadai. Ia termasuk kalangan elite Mongol yang terpengaruh budaya Turki. Mayoritas rakyatnya di Asia tengah memang berasal dari suku bangsa tersebut.
Antara permulaan dan medio abad ke-14, Samarkand terus berbenah. Kota tersebut semakin meneguhkan perannya sebagai salah satu simpul perdagangan yang sibuk di Jalur Sutrarute komersiil yang menghubungkan antara China, India, Asia barat, dan Eropa. Bagaimanapun, kondisinya tidak steril dari pengaruh konflik politik dan bahkan militer yang melanda para pemimpin Mongol.
Pada dekade awal abad ke-14, wilayah yang diwarisi Chaghadai Khan terbelah menjadi dua, yakni horde barat dan timur. Antara 1331 dan 1334, horde Chaghadai barat dipimpin Tarmashirin.
Semula, raja tersebut beragama Buddha. Setelah memeluk Islam, namanya berganti menjadi Alauddin. Tidak ada keterangan yang pasti tentang alasannya berislam.