REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dalam Alquran dan hadits telah banyak disampaikan tentang keutamaan ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi diri untuk mencari ilmu dan bersungguh-sungguh mempelajarinya adalah hal yang sesuai dengan ajaran agama.
Namun, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk belajar adab terlebih dahulu baru menuntut ilmu. Adab dulu baru ilmu, itulah yang seharusnya dilakukan oleh para penuntut ilmu. Pentingnya adab ini banyak diajarkan dalam buku berjudul “Adab di Atas Ilmu” ini.
Buku ini diterjemahkan dari kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim wa Adab al-Mufti wa al-Mustafti yang ditulis Imam Nawawi. Imam Nawawi terlebih dahulu membahas tentang ayat dan hadits yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu. Selain itu, Imam Nawawi juga menjelaskan atsar generasi salaf yang saleh tentang fadhilah ilmu.
Sangat banyak atsar dari para sahabat dan ulama salaf tentang keutamaan ilmu yang diungkapkan Imam Nawawi di dalam buku ini. Di antaranya, Ali bin Abi Thalib RA mengatakan, “Ilmu akan mendatangkan kemuliaan, sementara kebodohan akan mengakibatkan kehinaan.”
Tentang keutamaan ilmu dan segala hal yang melingkupinya, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu juga memberikan motivasi keilmuan dari enam sisi.
Pertama, mempelajarinya adalah bentuk kepatuhan. Kedua, mencarinya adalah bentuk peribadatan. Kedua, Mengingat-ingatnya Kembali adalah bentuk penyucian.
Keempat, mengkajinya adalah bentuk perjuangan. Kelima, mengajarkannya adalah bentuk kepedulian. Keenam, mendiskusikannya dengan ahlinya adalah bentuk kekerabatan.
Pada bab pertama ini, Imam Nawawi juga membahas antara ilmu dan beribadah. Menukil pernyataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Imam Nawawi menegaskan, “Suatu majelis ilmu itu jauh lebih baik daripada ibadah 60 tahun.” Hal senada juga diucapkan oleh Abdurrahman bin Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Memahami suatu ilmu yang sederhana jauh lebih baik daripada memperbanyak ibadah.”
Siapa Imam Nawawi?
Imam Nawawi, seorang ulama besar Mazhab Syafi’i. Dia dilahirkan di Desa Nawa, Suriah pada bulan Muharram 631 Hijriyah.
Berkat penguasaan dan kepeduliannya terhadap ilmu-ilmu agama, sang Imam memperoleh gelar “Muhyiddin”, yang artinya sang penghidup agama. Gelar ini diberikan karena Imam Nawawi mendedikasikan seluruh hidupnya untuk belajar, menulis, dan mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Seperti mayoritas ulama yang bermazhab Syafi’i, dalam mazhab akidah sang imam termasuk Al Asy’ariyah atau pengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari, sang pendiri Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).
Jejak langkah sang imam dalam menuntut ilmu merupakan bukti cintanya terhadap ilmu pengetahuan. Dari sang Imam, umat Islam akan mengerti bahwa belajar ilmu tidak boleh terhambat oleh faktor usia dan tidak pernah mengenal kata usai.
Imam Nawawi wafat pada 679 Hijriah di usia ke-45 tahun. Dalam kurun waktu yang begitu singkat, dengan ketekunannya dalam membaca dan menulis, lahir puluhan karya-karya besar. Salah satu karyanya yang mengupas tentang ilmu adalah buku terjemahan berjudul “Adab di Atas Ilmu” ini.