Selasa 10 May 2022 14:51 WIB

Tradisi Halal Bihalal, Istilah dari Bahasa Arab yang Identik dengan Nusantara  

Tradisi halal bihalal sudah sangat populer di kalangan Muslim Indonesia

Ilustrasi halal bihalal pada momen Idul Fitri. Tradisi halal bihalal sudah sangat populer di kalangan Muslim Indonesia
Foto:

Oleh : KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Tradisi halal bihalal sebagaimana jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri, mereka saling bermaaf-maafan dibuktikan dengan saling bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: 

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi) 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan untuk saling 'menghalalkan' dan melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah ketika di Makkah. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan Fathu Makkah. 

Pada peristiwa Fathu Makkah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, "Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy". Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah. 

Di antara petikan ayat Alquran yang dibacakan  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surat Yusuf ayat 92: 

قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

"Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian." (QS Yusuf ayat 92). 

Peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada 8 Hijriyah disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia yang sulit dicarikan persamaannya. 

Esensi halal bihalal dapat tercapai jika antara kita menempatkannya sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus perekat sosial, baik antarpersonal ataupun antarkelompok dan golongan.  

Baca juga: Dalil Alquran dan Hadits yang Mengharamkan Praktik Riba

Dengan demikian, pelaksanaan halal bihalal tidak saja bernilai ibadah karena didalamnya terdapat muatan silaturrahim, tetapi juga bisa menjadi media yang dapat menyatukan dan menguatkan. 

 

Alhasil, dari penjelasan di atas, halal bihalal tidak saja benar dari susunan bahasa tetapi juga dibenarkan dari sisi hukum.

Hukum halal bihalal yang semula boleh (mubah) bisa menjadi sunnah kalau diniatkan melaksanakan perintah silaturahim dan bahkan bisa mejadi wajib jika dikaitkan dengan wajibnya minta maaf dan kehalalan atas kesalahan dirinya kepada orang lain.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement