REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdiri dalam sholat memiliki makna dan kekuatan spiritual. Bagi ahli makrifat, berdiri dalam sholat merupakan lambang dari tauhid perbuatan (at-tauhid al-fa’ali), sebagaimana dalam rukuk merupakan lambang dari tauhid sifat (at-tauhid ash-shifati), dan sujud sebagai lambang tauhid zat (at-tauhid adz-dzati).
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta KH Nasaruddin Umar menjelaskan, berdiri tegak dalam sholat melambangkan huruf alif yang dalam pandangan sufistik memiliki banyak makna keutamaan.
“Berdiri dalam sholat adalah bukti ketegaran seorang hamba sebagai manifestasi (tajalli) Tuhan yang memiliki sifat utama, yaitu Tuhan Yang Mahategar (Qayyumiyyah al-Haq),” kata Kiai Nasaruddin dalam bukunya yang berjudul Shalat Sufistik terbitan Alifia Books.
Dalam perintah menegakkan sholat, menurut dia, Allah Swt berkali-kali menggunakan istilah aqimus ash-shalah (dirikanlah sholat), bukan if’alu ash-shalah (kerjakanlah sholat). Dalam Alquran, Allah Swt dengan tegas memerintahkan,
وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ
“Berdirilah untuk Allah (dalam sholatmu) dengan khusyuk.” (QS al-Baqarah [2]: 283).
Kiai Nasaruddin mengatakan, berdiri dalam sholat memang harus diupayakan semaksimal mungkin. Beberapa hadits menceritakan, sahabat Nabi mempertahankan sholat berdiri walaupun dalam keadaan kaki bengkak.
Bahkan, menurut dia, salah seorang sahabat pernah membentangkan tali dari tiang ke tiang sebagai sandaran untuk menopang kakinya yang tidak kuat. “Kita sebaiknya tidak memanjakan diri sholat dengan menggunakan kursi atau sholat duduk selama masih memungkinkan untuk berdiri,” jelas Kiai Nasaruddin.
Dia menambahkan, berdiri dalam sholat juga merupakan latihan dan pengejawantahan misi sholat untuk menegakkan kebenaran mencegah keburukan dan kemungkaran (tanha’ an al-fakhsya’ wa al-munkar). “Berdiri dengan tegak dalam sholat diharapkan juga menjadi lambang ketegaran dalam menegakkan keadilan,” kata Kiai Nasaruddin.