Selasa 12 Apr 2022 17:10 WIB

Hukum Menafkahi Kedua Orang Tua Wajib, Ini Penjelasannya Menurut Islam

Nafkah kedua orang tua merupakan kewajiban anak-anaknya

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Berbakti Kepada Orang Tua. Nafkah kedua orang tua merupakan kewajiban anak-anaknya
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Berbakti Kepada Orang Tua. Nafkah kedua orang tua merupakan kewajiban anak-anaknya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Memberi nafkah untuk kedua orang tua yang tidak mampu diwajibkan atas anak-anak mereka yang memiliki kemampuan. Hal ini sebagaimana yang dipesankan Rasulullah SAW.

Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunnah, dan Para Ulama mengutip riwayat berikut:  

Baca Juga

عن عمارة بن عمير عن عمته أنها سألت عائشة رضي الله عنها في حجري يتيم أفآكل من ماله فقالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن من أطيب ما أكل الرجل من كسبه وولده من كسبه

Telah dirawikan oleh Umarah bin Umair bahwa bibinya pernah bertanya kepada Sayyidah Aisyah, “Anak saya, yang yatim, berada di bawah asuhan saya. Bolehkah saya makan sekadarnya dari harta miliknya?” 

Sayyidah Aisyah menjawab bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sebaik-baik sesuatu yang dimakan seseorang adalah dari yang dia hasilkan sendiri. Sedangkan anak termasuk sesuatu yang dia hasilkan.”  

Bahkan disebutkan apabila seorang ayah atau ibu dalam keadaan miskin, dibolehkan bagi keduanya mengambil dari harta anak mereka.

Baik dengan izin si anak maupun tanpa izinnya. Tentunya mereka hanya dibolehkan mengambil sekadar yang benar-benar mereka perlukan, bukan untuk bermewah-mewah atau berboros-boros.

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki tua menghadap Nabi Muhammad SAW mengeluhkan seorang anaknya yang memarahinya dengan sengit karena dia terpaksa mengambil sedikit uang anaknya itu untuk keperluan yang mendesak. Nabi Muhammad SAW segera memerintahkan agar si anak dihadapkan kepadanya.

Anak itu pun balik mengeluhkan ayahnya dengan mengatakan, “Ya Rasulullah, aku memang memiliki harta, tetapi aku juga mempunyai istri dan anak-anak yang harus aku penuhi keperluan mereka. Sedangkan ayahku ini suka menguasai uangku tanpa izin dariku. 

Mendengar hal itu, sambil berurai air mata si ayah menunjukkan beberapa bait syair kepada anaknya itu, “Kucukupi keperluanmu sejak kau bayi menyusu sampai kini kau remaja. Puas kenyang dan hilang dahagamu dengan yang kusediakan untukmu. Apabila di suatu malam kau ditimpa sakit, kubergadang di seluruh malamku. Gelisah sabar mendengar keluh kesahmu, tak sejenak pun terpejam mataku. Seolah aku si penderita, bukan kau, dengan air mataku mengucur deras.

Namun ketika usiamu cukup untuk memenuhi cita-cita yang kuharap darimu. Kaujatuhkan wajah cemberut dan perlakuan kasar sebagai balasan. Seolah engkaulah sang pelimpah nikmat yang senantiasa bermurah hati. Duhai, sekiranya kau memang tak menghargai hakku sebagai ayahmu. Cukuplah kau perlakukan aku seperti orang memperlakukan tetangganya. Tapi mengapa kini kau di setiap waktu siap bermusuhan denganku? Seolah engkaulah sang penguasa yang selalu benar melawanku?”.

Mendengar hal itu, Nabi Muhammad SAW dengan amat terharu berkata kepada si anak: أنتَ ومالُكَ لأبيكَ “Engkau dan seluruh hartamu adalah milik ayahmu.” 

Dijelaskan bahwa tentunya yang dimaksud sabda Rasulullah SAW tersebut adalah bahwa si ayah dibolehkan mengambil dari milik ayahnya sekadar yang diperlukan untuk hidupnya. Bukan untuk menguasai seluruh harta si anak sebagaimana yang disepakati oleh para ulama.

Namun demikian, sebagaimana diwajibkan atas anak yang mampu memberikan nafkah untuk ayah atau ibunya yang kurang mampu, demikian pula diwajibkan atas ayah yang mampu memberi nafkah untuk anaknya yang tidak mampu. 

Diriwayatkan bahwa istri Abu Sufyan pernah mengadukan perihal suaminya yang bakhil kepada Rasulullah, maka beliau berkata kepadanya: 

 خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف “Ambillah dari harta milik suamimu sekadar yang cukup untuk keperluanmu dan anakmu yang sepatutnya.”      

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement