Selasa 12 Apr 2022 00:10 WIB

7 Pemikiran Tasawuf Syekh Abdul Qadir Al Jailani dan Tarekat Qadiriyahnya

Syekh Abdul Qadir Al Jailani merupakan sosok sufi sang pembaru

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Sheikh Abdul Qadir Jailani (ilustrasi rekaan). Syekh Abdul Qadir Al Jailani merupakan sosok sufi sang pembaru
Foto:

Kelima, Syekh Abdul Qadir tidak mengajarkan para pengikutnya untuk meninggalkan atau mengabaikan dunia, seperti para rahib. Yang dimaksudkannya ialah mengutamakan akhirat daripada dunia. 

Ia menasihati, ”Dunia boleh saja di tanganmu atau berada di dalam sakumu untuk engkau simpan dan pergunakan dengan niat yang baik. Namun, jangan meletakkan dunia di dalam hati. Engkau boleh menyimpannya di luar pintu (hati), tetapi jangan memasukkannya ke dalam pintu. Karena hal itu tidak akan melahirkan kemuliaan bagimu.”

Keenam, dalam Tarekat Qadiriyah, dzikir merupakan amalan yang sering kali dilakukan. Kalimat utamanya adalah Laa Ilaaha Illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah). 

Menurut mursyid aliran sufistik ini, berdzikir sebaiknya dilakukan dalam posisi duduk dengan menghadap kiblat sembari menutup mata. 

Dengan begitu, kalimat persaksian itu akan menimbulkan rasa lebih dalam sehingga dalam batin timbul rasa cinta kepada Allah. Dzikir kalimat tauhid ini biasanya dilantunkan dengan suara keras. 

Kebiasaan atau amalan berdzikir ini harus selalu dilakukan oleh seorang murid setiap habis sholat fardlu lima waktu dengan jumlah yang telah ditentukan. Semakin banyak maka kian baik. Selain itu, murid juga dianjurkan membaca istigfar tiga kali atau lebih, lalu bershalawat. 

Dalam mengucapkan lafaz Laa pada kalimat Laa Ilaaha Illa Allah, seorang salik mesti berkonsentrasi dengan cara menarik napas yang dalam. 

Saat lanjut membaca Ilaha, arahkan nafas dari arah kanan. Berikutnya, tatkala membaca Illa Allah, fokuskan nafas dan pikiran ke arah kiri dada, yakni jantung. 

Dengan begitu, ia akan menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, bahwa hanya Allah SWT-lah tempat manusia kembali.

Ketujuh, setelah seorang pelaku tasawuf telah bisa melaksanakan amalan dzikir, baik dengan hati, pikiran, maupun lisannya, hingga hal itu menjadi sebuah kebiasaan yang tiada terputus, selanjutnya amalan dzikir tersebut harus diikuti dengan amal saleh keseluruhan anggota tubuh yang disebut dengan wirid. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Yasin ayat 12: 

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh).” 

Tarekat Qadiriyah memperoleh pengikut yang besar di Irak, India, Afghanistan, dan Asia Tenggara. Sebelum meluas ke pelbagai wilayah itu, jalan salik tersebut bersentuhan dengan Tarekat Naqsyabandiah. 

Nama itu dinisbahkan kepada Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717-791 H). Tarekat Naqsyabandiyah berasal dari Asia Tengah. 

 

Perpaduan antara Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiah dilakukan oleh seorang alim asal Kalimantan Barat, yakni Syekh Ahmad Khatib Sambasi. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiah, pada akhirnya, menjadi dominan di seluruh Tanah Air.      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement