REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 31 Maret memegang tempat penting dalam sejarah Islam, sebagai peringatan perjanjian yang membuka jalan bagi pengakuan kepemimpinan Nabi Muhammad. Pada 628 Masehi, 1.394 tahun yang lalu, perjanjian Hudaibiyah ditandatangani. Perjanjian itu dianggap sebagai tengara dalam sejarah Islam.
Dilansir dari laman TRT World pada Jumat (1/4/2022), perjanjian ditandatangani di desa Hudaibiyah, yang terletak sekitar sembilan mil (14,5 kilometer) di luar Makkah. Peristiwa itu terjadi enam tahun setelah Hijrah, dan umat Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad sangat ingin mengunjungi Ka'bah Suci.
Selama periode ini, penyembah berhala Makkah dan Muslim mengobarkan perang tiga kali, di Badar, Uhud dan dalam Perang Khandaq. Meskipun kaum Muslim telah mengalahkan para penyembah berhala dalam dua pertempuran ini, mereka masih belum cukup kuat untuk berperang lagi melawan kekuatan sebesar itu.
Adapun Yang Mulia Nabi Muhammad menyeru para pengikutnya untuk menunaikan umrah, haji, mengikuti mimpinya, dan sekitar 1.400 sahabatnya menempuh perjalanan mereka melalui Makkah. Karena niat mereka adalah untuk melakukan kewajiban agama, mereka hanya membawa tujuh puluh senjata kurban. Ketika para penyembah berhala Makkah mencegah mereka memasuki kota, kafilah, yang dipimpin oleh Nabi Muhammad, memutuskan untuk tinggal di Hudaibiyah dan berkemah di sana.
Menyusul desas-desus tentang persiapan orang-orang Makkah untuk perang, Nabi Muhammad mengirim pesan yang mengatakan bahwa mereka tidak datang untuk berperang. Sahabat Utsmab diutus sebagai utusan untuk menyampaikan pesan nabi kepada orang-orang Makkah. Ketika laporan muncul bahwa dia telah mati syahid, kaum Muslim bersiap untuk perang.