REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam Islam, nazar merupakan janji seorang Muslim kepada dirinya sendiri sebagai ketaatan kepada Allah yang sebenarnya juga layak dikerjakan tanpa adanya nazar. Berbicara mengenai nazar, terdapat ragam hukum yang menyertainya.
Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim menyebutkan ragam hukum nazar, sebagai berikut:
Pertama, boleh (mubah). Nazar yang tidak terikat apapun yang dimaksudkan untuk ketaatan kepada Allah adalah boleh, seperti nazar puasa, shalat, atau sedekah. Nazar semacam ini wajib dipenuhi hukumnya bila sudah terucap.
Kedua, makruh. Hukum nazar yang terikat sesuatu adalah makruh, seperti mengatakan, "Jika Allah menyembuhkanku dari penyakitku, maka aku akan berpuasa begini atau bersedekah dengan itu,".
Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Umar bahwa Rasulullah melarang nazar dan bersabda, "Innahu laa yaruddu syai'an wa innama yustakhraju bihi min maali al-bakhili,". Yang artinya, "Sesungguhnya nazar itu tidak dapat menolak sesuatu, tetapi ia (nazar) hanya mengeluarkan sesuatu dari harta orang yang kikir,".
Ketiga, haram. Nazar tidak diperbolehkan atau haram dilakukan jika dimaksudkan untuk selain Allah. Seperti nazar untuk kuburan para wali atau arwah-arwah orang-orang shaleh, seperti mengatakan, "Wahai tuanku, Fulan, jika Allah menyembuhkanku dari penyakitku, maka aku akan menyembelih itu di atas kuburanmu atau bersedekah kepadamu atas itu,".
Nazar semacam itu diharamkan karena merupakan tindakan ibadah kepada selain Allah. Dan itu termasuk perbuatan syirik yang diharamkan Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam Alquran Surah An-Nisa ayat 36.
Allah berfirman, "Wa'budullaha wa laa tusyrikuu bihi syai'an,". Yang artinya, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun,".