Di Indonesia sendiri, aksara Jawi memainkan peranan penting dalam ekspresi keagamaan dan intelektual di Sumatera dan Jawa. Sementara penggunaan aksara Arab dalam dunia keagamaan dan intelektual di Sumatera salah satunya dipengaruhi oleh Pasai, di Jawa pengaruh itu datang dari jaringan ulama yang mempertemukan ulama dari Jawa dengan koleganya di dunia Arab.
Para ulama asal Jawa yang berada di Mekkah melihat aksara Arab sebagai saluran untuk penyebaran agama Islam dalam bahasa lokal. Maka, oleh para ulama Jawa ini, yang kemudian pulang dan mengajar di kampung halamannya, dipakailah aksara Arab untuk menjelaskan ajaran agama Islam dalam bahasa Jawa, Sunda dan Madura, sebuah kombinasi yang dikenal sebagai Arab Pegon.
Selain di kalangan pesantren, aksara Arab juga dipakai di kalangan istana dan bangsawan Jawa. Salah satu contoh pentingnya ialah salinan Babad Diponegoro, yang menceritakan kehidupan Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825-1830), salah satu perang paling berdarah dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia.
Babad sepanjang 1.151 halaman itu ditulis antara tahun 1831-1832 di Manado. Menurut biografer Diponegoro, Peter Carey, dalam bukunya, Sisi Lain Diponegoro, isi babad itu kemungkinan didiktekan oleh Diponegoro sendiri kepada seorang juru tulis. Formatnya adalah tembang macapat, dengan salinannya yang terorisinal ada dalam teks berhuruf pegon. Menurut Carey, huruf pegon ini adalah sebuah sistem penulisan yang pada masa hidup Pangeran Diponegoro di Jawa lazim dipakai di sana, terutama di kalangan ulama yang taat.
Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2020