REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab rahimahullah, adalah seorang ulama tabiin, imam yang zuhud, dan mufti kota Madinah.
Sebenarnya ibu Salim adalah seorang putri kerajaan Persia yang kalah pada peperangan Al-Qadisiyah pada masa pemerintahan amirul mu’minin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Ceritanya, di antara para tawanan kerajaan Persia tadi terdapat putri-putri Kisra Yazdajurd (Raja Persia). Kemudian masing-masing putri Kisra itu dinikahkan dengan anak-anak para sahabat yang mulia.
Putri pertama dinikahkan dengan Abdullah bin Umar ra dan lahirlah Salim. Putri kedua dinikahkan dengan Husain bin Ali bin Abi Thalib RA dan lahirlah Ali Zainal Abidin. Putri yang ketiga dinikahkan dengan Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq RA dan lahirlah Al-Qasim.
Salim, Ali Zainal Abidin, dan Al-Qasim tumbuh menjadi tokoh-tokoh ulama yang bertakwa, warak, lagi dicintai kaum Muslimin.
Ketika Khalifah Sulaiman menunaikan haji, pada saat tawaf, di tengah kerumunan penuh sesak jamaah haji, beliau melihat Salim bin Abdullah rahimahullah sedang bersimpuh di hadapan Ka’bah dengan penuh khusyu kepada Allah SWT.
Sementara air matanya bercucuran deras di kedua pipinya. Seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya. Cukup lama Salim bin Abdullah ‘bermesraan’ dengan Sang Khaliq.
Khalifah pun enggan mengganggunya. Seusai tawaf dan sholat dua rakaat di dekat maqam Ibrahim, khalifah berusaha menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat, sehingga dia bisa duduk bersimpuh hingga menyentuh kaki Salim bin Abdullah.
Namun, Salim tidak menghiraukannya sedikit pun, karena masih asyik dengan “kemesraannya"
khalifah terus memperhatikan Salim sambil menunggunya selesai dari wirid dan tangisnya. Ketika ada peluang, khalifah segera menyapa, “Assalamu 'alaika warahmatullah, wahai Abu Umar."
“Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh," jawab Salim.
"Katakanlah apa yang menjadi keperluanmu, wahai Abu Umar?"
"Aku akan memenuhinya," kata khalifah menawarkan kebaikannya.
Salim tidak mengatakan apa-apa, sehingga khalifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil lebih merapatkan dirinya kepada Salim bin Abdullah, khalifah mengulangi permintaannya. “Aku ingin engkau mengatakan keperluanmu agar aku bisa memenuhinya”
“Demi Allah, aku malu. Bagaimana mungkin, aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain-Nya?," sahut Salim.
Khalifah terdiam malu, tetapi dia tidak beranjak dari tempat duduknya. Ketika sholat telah usai, Salim pun bangkit keluar maka orang-orang memburunya untuk bertanya tentang hadits, fatwa ataupun minta didoakan.
Khalifah Sulaiman pun ikut berdesakan dalam kerumunan itu sampai akhirnya dia bisa mendekati Salim lagi, lalu berkata, “Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah keperluanmu agar aku dapat membantumu.”
“Mengenai keperluan dunia atau akhirat?” tanya Salim.
“Tentunya tentang keperluan dunia."
“Aku malu meminta keperluan dunia kepada Yang Mahamemilikinya, lalu bagaimana aku bisa meminta kepada yang bukan pemiliknya?"
Khalifah kembali merasa malu mendenga kata-kata Salim rah. Dia pun segera berlalu sambil bergumam, "Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa, wahai keturunan Khattab. Alangkah kayanya kalian dengan Allah. Semoga Allah memberkahi kalian se-keluarga."