Pada masa kedua dinasti inilah ilmu pertanian mendapatkan tempat yang setara dengan ilmu-ilmu lain yang pada masa itu lebih banyak digeluti ilmuwan dan dibutuhkan banyak orang. Sebelumnya, para ilmuwan Muslim umumnya lebih tertarik memperhatikan dan meneliti pikiran dan fisik manusia (yang bermuara pada filsafat dan ilmu medis) serta pergerakan benda-benda langit (yang memunculkan ilmu astronomi).
Di masa Dinasti Murabithun dan Muwahhidun, lahir ilmuwan-ilmuwan yang berkonsentrasi pada unsur lain yang tak kalah pentingnya di bumi, yaitu tanah. Di antara mereka ada sosok-sosok ilmuwan ahli tanah seperti Ibn Bajjah dan al-Ishbili.
Para ilmuwan pengkaji tanah di masa itu dengan seksama mengamati tanah, lalu mengkategorikannya menjadi berbagai jenis yang berbeda satu sama lainnya. Mereka dipisahkan berdasarkan komposisi pembentuknya.
Dari sana kemudian dilakukan amatan terhadap jenis pupuk yang dapat dipakai untuk membuat kesuburan tanah menjadi optimal. Teknik pertanian model lama yang hanya tergantung kepada peristiwa alam seperti hujan ataupun keberadaan sumber air seperti sungai pun mengalami perubahan.
Metode artifisial yang diperkenalkan para ilmuwan yang mengkaji soal tanah itu dapat membuat tanah ditanam lebih sering dengan hasil panen yang lebih banyak. Mereka memperkenalkan penggunaan pupuk untuk tanah-tanah yang mengalami erosi dan pemakaian irigasi untuk mengatasi masalah tanah yang mengalami kekeringan.