REPUBLIKA.CO.ID, —Keluarga Imam Ath Thabari tergolong mapan secara ekonomi. Karena itu, kedua orang tuanya cenderung mudah dalam mendukung rihlah keilmuan putranya itu.
Begitu selesai dengan pendidikan dasar, ia memulai pengembaraan intelektualnya ke pusat-pusat studi Islam. Pertama-tama, Ath Thabari menyambangi Ray—kini bagian dari Provinsi Tehran, Iran.
Di sana, ia berguru kepada Muhammad bin Humaid ar-Razi, terutama mengenai ilmu penulisan sejarah Nabi SAW (sirah Nabawiyah) dan hadits. Selanjutnya, ia hijrah ke Baghdad.
Tujuannya ialah menimba ilmu dari Ahmad bin Hanbal, seorang imam mazhab fikih yang terkemuka. Sayang sekali, belum tiba dirinya di Kota Seribu Satu Malam, Imam Hambali sudah kembali ke rahmatullah.
Dari Baghdad, langkah kakinya beranjak ke Basrah. Pemuda yang berusia 18 tahun itu mendengarkan banyak hadits, antara lain, dari Muhammad bin al-Ma'alli dan Muhammad bin Basyar. Selanjutnya, dirinya bertolak ke Kufah untuk berguru kepada para ahli ilmu hadits, seperti Hanna' bin al-Sary dan Abu Kuraib Muhammad al-Hamdani.
Di tengah perjalanannya, Ath Thabari mendapatkan kabar bahwa ayahandanya telah wafat. Sepeninggalan sang ayah, keadaan ekonominya berubah drastis. Kehidupan menjadi serba sulit. Bahkan, pernah ia menjual pakaiannya untuk sekadar membeli beberapa roti.
Dari Kufah, Ath Thabari sempat kembali lagi ke Baghdad. Saat usianya mencapai 22 tahun, ia mulai mengadakan rihlah lebih jauh, yakni ke Syam dan Mesir. Di kawasan Damaskus, dirinya mempelajari ilmu qira'ah (membaca Alquran) kepada 'Abbas bin al-Walid al-Bairuni. Karena itu, penulis kitab Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk itu menguasai qiraah Syamiyyin atau corak khas orang-orang Syam.
Di Mesir, Ath Thabari memetik ilmu dan hikmah dari al-Muzani. Sahabat Imam Syafii itu dikenal sebagai seorang ahli fikih yang masyhur. Selama di negeri tepian Sungai Nil, Mazhab Maliki pun dipelajarinya, terutama dari para guru terkemuka. Sebut saja, Muhammad bin Abdullah atau Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah.
Begitu banyak pengalaman dan ilmu yang diper olehnya. Maka kembalilah ia ke Thabaristan. Beberapa tahun kemudian, Baghdad menjadi pilihannya untuk menetap.
Di jantung Kekhalifahan Abbasiyah itu, dirinya mengajar dan menulis. Pada 310 H, Ath Thabari menghembuskan nafas terakhir. Jenazahnya dimakamkan di dalam rumahnya. Hingga kini, kuburannya diziarahi banyak Muslim dari pelbagai penjuru dunia.
Berbagai buku biografi tentangnya mengungkapkan, Ath Thabari tidak menikah hingga akhir hayat. Bisa dikatakan, pendampingnya yang setia hanyalah pena, tinta, dan kertas yang digunakannya untuk berkarya.
Hingga tutup usia, ulama tersebut sudah menghasilkan banyak buku. Proli fiknya itu didukung kebiasaan produktif. Setiap hari, ia menulis tidak kurang dari 40 halaman naskah.
Dalam lingkup ilmu tafsir, karya monumental nya berjudul Jami' al-Bayan fii Ta'wil al- Qur'an. Kitab yang terdiri atas 26 jilid itu lebih dikenal sebagai Tafsir Ath Thabari.
Tidak hanya menulis perihal tafsir Alquran. Ia pun menyusun kitab-kitab tentang sejarah dan fikih. Umpamanya, Tarikh al-Umam wa al-Muluk atau Tarikh ath-Thabari. Itu terdiri atas empat jilid. Adapun dalam bidang fikih, karyanya adalah Ikhtilaf al-Fuqaha.