REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam syariat Islam, orang yang baligh dan belum baligh memiliki konsekuensi hukum yang berbeda dalam menjalani suatu perkara ibadah maupun muamalah. Termasuk mengenai pengakuan bagi orang yang belum baligh.
Imam Syafii dalam kitab Al-Umm menjelaskan, apabila seseorang yang belum baligh melakukan pengakuan, baik ia adalah seorang laki-laki yang belum bermimpi basah maupun seorang perempuan yang belum mengalami haid atau seseorang yang belum genap berusia 15 tahun, sedangkan pengakuan itu menyangkut suatu hak Allah SWT, maka semua itu gugur darinya.
Sebab Allah SWT menunjukkan semua kefardhuan yang di dalamnya terkandung berbagai perintah dan larangan hanya terhadap orang-orang yang sudah baligh dan juga memiliki akal sehat. Menurut Imam Syafii, dalam hal ini beliau tidak melihat pada penetapan.
Adapun ketika muncul pernyataan mengenai status baligh, maka pernyataan yang boleh diterima adalah pernyataan orang yang mengaku itu jika dia menyatakan bahwa dirinya belum baligh. Dan jika hal itu disangkal oleh seseorang yang menjadi penuduh, maka penuduh itu harus mengajukan bukti.
Sedangkan apabila seorang khunsta musykil (orang dengan alat kelamin ganda dan sulit menentukan jenis kelaminnya) melakukan pengakuan, sementara dia sudah mengalami mimpi basah tetapi belum genap berusia 15 tahun, maka pengakuannya itu berstatus mauquf (dihentikan).
Apabila dia mengalami haid, sementara dia berstatus musykil, maka pengakuannya itu tidak harus (dikukuhkan) baginya sampai dia genap berusia 15 tahun. Begitu pula apabila dia mengalami haid dan dia belum mengalami mimpi basah.
Maka pengakuannya sebagai khunsta musykil hukumnya tidak boleh walau bagaimanapun juga sampai ia berusia genap 15 tahun. Semua ketentuan ini berlaku sama, baik pada orang-orang merdeka maupun pada para budak.