Bentuknya berupa sebuah kursi kayu yang untuk menaikinya terdapat dua anak tangga. Nabi Muhammad memesan kursi ini untuk ditempatkan di masjid Madinah. Dari mimbar inilah Nabi Muhammad menyampaikan khutbah-khutbahnya.
Sejarah mimbar memasuki babak baru di masa para khalifah, dengan menguatnya posisi khalifah dan jajarannya sebagai penguasa politik. Penghormatan diberikan kepada sang khalifah saat ia duduk di mimbar.
Mimbar digunakan oleh para gubernur di masa ini untuk beraudiensi dengan warganya, menyampaikan pengumuman, serta tetap melanjutkan fungsi dasarnya sebagai tempat menyampaikan khutbah, khususnya khutbah Jum’at. Bentuk mimbar juga berubah, dari yang awalnya hanya memakai dua anak tangga, di zaman Mu’awiyah dari Dinasti Umayyah menjadi memakai enam anak tangga.
Sejak era Umayyah inilah mimbar semakin dikenal dan lazim ditempatkan sebagai salah satu (di sejumlah masjid bahkan menjadi-satu-satunya) perabot di dalam masjid. Ada beberapa contoh mimbar lama yang menarik untuk dikemukakan.
Pertama, mimbar di masjid agung di Qairawan (Kairouan, Tunisia), yang diperkirakan dibuat pada tahun 862/3 M. Mimbar ini dibuat untuk emir Abu Ibrahim Ahmad, penguasa Dinasti Aghlabid, yang berkuasa di sekitar Tunisia dan timur Ajlazair.
Sebuah catatan sejarah menyebut panjang mimbar ini 3,93 meter dan tingginya 3,31 meter. Sama seperti di zaman Nabi Muhammad, mimbar ini juga memakai tangga. Namun, ada satu yang membedakannya, yang mungkin menjadi inspirasi awal bagi mimbar-mimbar selanjutnya: mimbar ini sudah diberi hiasan berupa dekorasi bunga.