Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum Nabi Musa AS berangkat ke bukit Thur Sina untuk bermunajat dengan Allah ﷻ, dia berpesan kepada saudaranya Nabi Harun as : “Gantikan aku untuk memimpin kaum, lakukan perbaikan (ishlah) dan jangan ikut jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Sepulangnya dari Bukit Sinai, Musa AS mendapati kaumnya telah menyembah anak sapi (‘ijl). Bukan main murkanya Musa AS. Sampai-sampai lembaran-lembaran suci (Taurat) yang berada di tangannya, ia lempar. Tidak itu saja, ia bahkan menarik kepala saudaranya, Harun AS.
Ia bertanya pada saudaranya dengan nada marah, “Harun, mengapa engkau tidak ikut perintahku ketika melihat mereka sesat?” Maksudnya, kenapa engkau tidak menyusulku bersama orang-orang yang masih beriman ke Bukit Sinai? Mengapa engkau masih bertahan bersama mereka yang sudah sesat?
Apa jawaban Nabi Harun? Setelah memohon pada saudaranya untuk melepaskan kepala dan jenggotnya, ia berkata, “Aku takut engkau akan berkata, “Kau telah memecah-belah Bani Israil dan engkau tidak menjaga amanahku.”
Nabi Harun menempuh langkah ini, tetap bertahan dan berada di tengah-tengah kaumnya yang sudah menyimpang, karena ia tidak ingin dituduh oleh Musa telah memecah-belah Bani Israil.
Karena kalau ia pergi menyusul Musa bersama orang-orang yang masih beriman tentu kaum Bani Israil akan terpecah menjadi dua, dan ini kontraproduktif dengan pesan awal Musa kepada Harun untuk melakukan perbaikan (ishlah) serta jangan ikuti langkah orang-orang yang berbuat kerusakan.
Apalagi sosok Harun tidak terlalu disegani kaumnya sebagaimana halnya Musa AS. Karena itu ia lebih memilih menunggu kepulangan Musa dari Bukit Sina. Biar Musa yang bertindak dengan ketegasan dan kharisma yang dimilikinya. Imam Thahir bin ‘Asyur berkata:
هَذَا اجْتِهَادٌ مِنْهُ فِي سِيَاسَةِ الْأُمَّةِ إِذْ تَعَارَضَتْ عِنْدَهُ مَصْلَحَتَانِ مَصْلَحَةُ حِفْظِ الْعَقِيدَةِ وَمَصْلَحَةُ حِفْظِ الْجَامِعَةِ مِنَ الْهَرَجِ. وَفِي أَثْنَائِهَا حِفْظُ الْأَنْفُسِ وَالْأَمْوَالِ وَالْأُخُوَّةِ بَيْنَ الْأُمَّةِ فَرَجَّحَ الثَّانِيَةَ، وَإِنَّمَا رَجَّحَهَا لِأَنَّهُ رَآهَا أَدْوَمَ فَإِنَّ مَصْلَحَةَ حِفْظِ الْعَقِيدَةِ يُسْتَدْرَكُ فَوَاتُهَا الْوَقْتِيُّ بِرُجُوعِ مُوسَى وَإِبْطَالِهِ عِبَادَةَ الْعِجْلِ حَيْثُ غَيَّوْا عُكُوفَهَمْ عَلَى الْعِجْلِ بِرُجُوعِ مُوسَى، بِخِلَافِ مَصْلَحَةِ حِفْظِ الْأَنْفُسِ وَالْأَمْوَالِ وَاجْتِمَاعِ الْكَلِمَةِ إِذَا انْثَلَمَتْ عَسُرَ تَدَارُكُهَا
“Ini adalah ijtihad dari Nabi Harun dalam mengelola masyarakat ketika ada dua maslahat (kepentingan) yang kontradiktif, maslahat menjaga akidah dan maslahat menjaga keutuhan masyarakat dari kekacauan.
Termasuk di dalamnya maslahat menjaga jiwa, harta dan persaudaraan antar komponen masyarakat. Harun lebih memilih maslahat yang kedua.
Baca juga: Mualaf Erik Riyanto, Kalimat Tahlil yang Getarkan Hati Sang Pemurtad
Hal itu ia lakukan karena maslahat ini jauh lebih langgeng. Adapun maslahat menjaga akidah, meskipun ditunda beberapa saat masih bisa dijemput kembali dengan kepulangan Nabi Musa.
Ia sendiri yang akan membatalkan penyembahan terhadap anak sapi itu. Ini berbeda dengan maslahat menjaga jiwa, harta dan keutuhan masyakarat, yang kalau sudah rusak sulit untuk bisa diperbaiki lagi.”