REPUBLIKA.CO.ID, — Proses transmisi ilmu antara seorang guru dan murid, penting dibungkus dalam bingkai adab. Adab tersebut tidak hanya lazim dilakoni seorang murid, tetapi juga guru.
Dalam Tadzkiratu as-Sami' wa al-Mutakallim fi Adabi al-'Alim wa al-Muta'allim karya Imam Badruddin Ibnu Jamaah dijelaskan tentang adab seorang guru.
Kitab yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka al-Ihsan (2017) itu menjelaskan adab seorang guru terhadap dirinya sendiri dalam bagian pertama.
Di antara akhlak-akhlak yang diuraikannya ialah perlunya merasa selalu diawasi Allah SWT.
Sikap ini dinamakan sebagai muraqabah. Seorang alim yang memahami kualitas ini tidak akan terlena oleh godaan-godaan duniawi.
Sifat lainnya adalah menyucikan jiwa dan raganya. Tidak hanya berkaitan dengan hal-hal ruhaniah, sang penulis juga menegaskan pentingnya kepiawaian menulis bagi seorang guru.
Dalam proses mengajar, seorang guru juga dianjurkan untuk selalu tampil dengan kondisi suci, bersih, dan wangi. Berbagai doa sehari-hari pun hendaknya diamalkan sehingga para murid dapat ikut meneladaninya.
Imam Badruddin menulis, ” Yang ia (seorang guru) harapkan dalam mengajar dan mendidik murid-muridnya adalah, pertama, Wajah Allah SWT. Kedua, menyebarkan ilmu. Ketiga, menghidupkan syariat.” Dalam hal ini, sang penulis menegaskan keutamaan niat yang ikhlas karena Allah dari seorang pengajar ilmu-ilmu agama. Sebab, dalam urusan agama, pengajaran ilmu adalah urusan yang terpen ting. Sang penulis mengutip perkataan Abu Yusuf rahimahullah, “Wahai kaum! Niatkanlah dengan ilmu kalian karena Allah Ta'ala. Sesungguhnya aku sama sekali tidak duduk di suatu majelis ilmu lalu aku niat untuk tawadhu (rendah hati) dengan hal itu, kecuali aku tidak bangkit dari majelis tersebut hingga akhirnya aku mengungguli mereka.”
Maknanya, seorang ulama dalam mengajarkan ilmu tidak untuk pamer, mengharapkan pujian manusia. Bila godaan untuk sombong sudah dituruti, maka merugilah dirinya.
Seorang ulama juga tidak boleh merendahkan kemuliaan ilmu. Misalnya, dengan sering pergi ke tempat orang yang tidak berhak. Siapa itu?
Menurut Imam Badruddin, mereka adalah para pencinta dunia. Ulama tak boleh mendatanginya kecuali sungguhsungguh ada keperluan yang mendesak dalam perkara keumatan atau tegaknya agama. Dia mengutip pernyataan az-Zuhri rahimahullah, “Hinanya ilmu ketika seorang alim membawanya ke rumah orang belajar.”