REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari merupakan seorang ulama sufi yang lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Al-Hikam, yaitu suatu kitab tasawuf sepanjang masa.
Kitab Al-Hikam disebut-sebut sebagai magnum opusnya Ibnu Athaillah. Di dalam kitab ini, Ibnu Atha’illah salah satunya menjelaskan tentang tig amacam manusia dalam menyikapi pemberian dari Allah SWT.
Ibnu Atha’illah menjelaskan, di dalam menghadapi nikmat Allah, manusia terbagi tiga. Pertama, orang yang gembira dengan nikmat, bukan karena melihat siapa yang memberikannya, tetapi semata-mata karena kelezatan nikmat itu yang memuaskan hawa nafsunya. Maka, ia termasuk orang yang lalai atau ghafil.
Menurut Ibnu Atha’illah, orang macam ini sesuai dengan firman Allah SWT, “Sehingga bila mereka telah puas gembira dengan apa yang diberikan itu, Kami tangkap mereka dengan tiba-tiba (Kami siksa mereka dengan tiba-tiba.”
Kedua, lanjut Ibnu Atha’illah, orang yang gembira dengan nikmat karena ia merasa bahwa nikmat itu adalah karunia yang diberikan Allah kepadanya. Orang ini sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah, karena merasa mendapat karunia dan rahmat Allah maka dengan itulah mereka harus gembira. Yang demikian itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."
Sedangkan yang ketiga adalah orang yang hanya bergembira dengan Allah, bukan karena karunia-Nya. Ia tidak terpengaruh oleh kelezatan lahir dan batin nikmat itu karena ia hanya sibuk memperhatikan Allah sehingga ia tercukupi dari segala hal selain-Nya.
Dengan demikian, kata Ibnu Atha’illah, tidak ada yang terlihat padanya, kecuali Allah. Orang ini sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah, 'Hanya Allah', kemudian biarkan mereka dalam kesibukan mereka berkecimpung (main-main)."
Penjelasan dair kitab Al-Hikam ini kemudian dijelaskan lagi oleh Grand Syekh Universitas Al-Azhar Mesir, Syekh Abdullah Asy-Syarqawi. Dalam syarahnya, dia menjelaskan bahwa golongan pertama penerima nikmat Allah itu seperti hewan yang makan dan minum tanpa mengingat Tuhannya.
“Setiap kali mereka diberi nikmat maka kelalaiannya terus bertambah dan mereka tidak pernah bersyukur kepada Allah. Akibatnya, Allah akan menyiksa mereka dengan tiba-tiba,” jelas Syekh Abdullah dikutip dari buku “Al-Hikam: Kitab Tasawuf Sepanjang Masa” terbitan Turos Pustaka.
Golongan kedua, keadaan mereka pun masih kurang sempurna karena masih menoleh ke arah nikmat itu dan masih merasa bahagia dengannya. Ia masih merasa senang dengan nikmat kendati ia mengetahui bahwa nikmat itu bersumber dari Allah.
Sedangkan golongan ketiga, menurut Syekh Abdullah, mereka hanya bergembira dengan Allah, bukan dengan karunia-Nya. Mereka tidak terdorong untuk menikmati kelezatan lahir nikmat itu. Mereka juga tidak pernah menganggap bahwa wujud nikmat itu adalah bukti perhatian dan pertolongan Allah kepada mereka.