Ini mulanya ada kaitannya dengan usaha untuk memelihara Al Qur’an. Di masa Nabi, penghimpunan Al Qur’an dilakukan melalui hafalan para sahabat Nabi serta, dalam bagian kecil, dengan menuliskannya.
Kegiatan menghimpun Al Qur’an dalam medium tertulis semakin digiatkan setelah Nabi wafat. Adalah di masa Khalifah Usman bin Affan Al Qur’an mendapatkan bentuk tertulisnya yang dikenal sebagai bentuk finalnya. Dari sinilah kita mendapat nama Mushaf Usmani.
Bahasa Arab yang dipakai dalam Al Qur’an serta konten Al Qur’an sendiri dalam waktu singkat menjangkau daerah-daerah yang luas. Kemunculan kekhalifahan Islam diiringi oleh perluasan pengaruh Islam ke luar Jazirah Arabia.
Di masa Khulafaur Rasyidin, umpamanya, Islam bisa mencapai Afrika Utara. Orang-orang Arab yang menyebarkan Islam ke luar Jazirah Arab membawa serta Al Qur’an Mushaf Usmani ini, yang artinya memperkuat dan memperdalam peranan bahasa Arab dalam kehidupan masyarakat Muslim yang baru lahir.
Tapi, ada problem ketika Islam mulai memasuki wilayah yang di masa lalu dikenal memiliki peradaban jauh lebih maju daripada peradaban masyarakat Jazirah Arab yang nomaden dan sebagian besar masih buta huruf. Ini terjadi ketika Islam mulai datang ke Mesir, Suriah, dan kawasan Persia. Bahasa Arab tergolong tertinggal dibanding dengan bahasa lokal di wilayah-wilayah ini.
Walaupun demikian, para sejarawan sepakat bahwa ada hal penting lain yang membuat hambatan psikologis dan budaya di atas bisa diatasi. Elemen tersebut ialah kerelaan dari kaum Muslim baru di luar Jazirah Arab ini untuk belajar memahami Al Qur’an dan bahasa yang dipakainya, bahasa Arab. Gagasan Islam yang menarik dan relevan dengan zaman itu serta penyebaran Islam yang damai membuat agama ini dengan mudah diterima di luar Jazirah Arab, termasuk di wilayah kekuasaan Bizantium, imperium besar kala itu.