REPUBLIKA.CO.ID, — Sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16, kaum Muslimin Andalusia tidak tinggal diam terhadap kekejaman Spanyol. Dapatlah dipahami bahwa tujuan akhir metode Inkuisisi bukanlah kristenisasi, melainkan pengusiran seluruh umat Islam dari Iberia.
Berbagai perlawanan pun bergelora di kota-kota di Spanyol. Akan tetapi, rezim setempat dapat memadamkan satu per satu pemberontakan yang terjadi. Sering kali, penguasa menggunakan cara-cara yang sangat kejam dan jauh dari rasa kemanusiaan, semisal membakar orang hidup-hidup.
Dalam situasi demikian, wajar saja bila umat Islam setempat meminta bantuan kepada raja-raja Muslim di luar negeri.
Tokoh-tokoh mereka mengirimkan utusan dan surat kepada sejumlah sultan dengan harapan, para penguasa yang seiman itu dapat menyelamatkan penduduk Andalusia dari kezaliman raja dan ratu Katolik ekstrem. Pengiriman duta tersebut menimbulkan kehebohan di dunia Islam.
Tak sedikit pemimpin Muslim yang segera menyampaikan pesan kepada paus di Roma. Petinggi Katolik itu diingatkan, kaum Nasrani di bawah pemerintahan Islam dilindungi kebebasannya dalam beragama dan muamalah.
Mengapa orang-orang Islam di Iberia menerima kezaliman yang luar biasa? Bagaimanapun, paus tampak acuh tak acuh dengan pelbagai protes yang berdatangan. Spanyol seperti dibiarkan untuk membersihkan unsur Islam dari negerinya.
Pada waktu itu, Turki Utsmaniyah belum menyandang titel kekhalifahan.Meskipun demikian, kerajaan Islam itu tetap menjadi salah satu tumpuan harapan kaum Muslimin Andalusia. Mereka berkirim surat kepada raja Utsmaniyah saat itu, Sultan Beyezid II. Isinya antara lain sebagai berikut, seperti dikutip sejarawan Ali Muhammad ash- Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah(2003):
“Semoga Allah memanjangkan umur kerajaan dan hidup Tuan. Semoga Dia menolongmu dengan kemenangan atas musuh, dan menempatkanmu di tempat yang diridhai dan dimuliakan. Kami adukan kepada Tuan semua yang kami alami dan rasakan.”