REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Para ulama saling berselisih pendapat mengenai hukum kebolehan dari jual-beli barang yang cacat tanpa sepengetahuan pembeli. Contohnya seperti si penjual mensyaratkan bahwa si pembeli harus menanggung cacat yang ia dapati pada barang yang dijual secara umum.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan pendapat Imam Abu Hanifah. Menurut Imam Abu Hanifah, jual beli dengan berlepas tangan dari setiap cacat itu diperbolehkan. Baik cacat itu diketahui, disebutkan, dan dilihat oleh si penjual atau tidak. Inilah pendapat yang juga dikemukakan oleh Abu Tsaur.
Menurut salah satu versi pendapat yang populer dari Imam Syafii yang dibela oleh murid-muridnya, si penjual tidak boleh berlepas tangan, kecuali untuk cacat yang sudah diperlihatkannya kepada si pembeli. Imam Ats-Tsauri setuju pada pendapat ini.
Sedangkan menurut versi pendapat Imam Malik yang paling populer, si penjual boleh berlepas tangan dari cacat yang telah diketahuinya. Tetapi ini khusus pada barang yang dijual berupa budak. Kecuali berlepas tangan dari kandungan pada budak perempuan yang masih muda.
Menurut Imam Malik, hal itu dilarang karena berpotensi sangat besar menimbulkan penipuan. Salah satu versi pendapatnya yang lain menyatakan bahwa boleh pada budak dan binatang. Bahkan dia juga berpendapat bahwa jual-beli seperti ini hanya dibenarkan dari penguasa saja.
Alasan-alasan ulama yang membolehkan jual beli lepas tangan secara mutlak ini karena tuntutan ganti rugi atas cacat terhadap si penjual merupakan salah satu hak pembeli. Oleh karena itu apabila dia menggugurkan haknya, gugurlah hak itu sebagaimana hak-hak yang lain.
Dan alasan ulama-ulama yang tidak membolehkannya karena jual beli ini termasuk penipuan dalam hal-hal yang tidak diketahui oleh si penjual, dan termasuk pengkhianatan dalam hal-hal yang diketahuinya. Oleh karena itulah Imam Malik mensyaratkan si penjual harus tidak tahu.
Intinya, pedoman Imam Malik dalam masalah ini adalah hadis yang diriwayatkan olehnya dalam kitab Al-Muwatha, “Sesungguhnya Abdullah bin Umar menjual seorang budak miliknya seharga 800 dirham dengan syarat lepas tangan. Si pembeli berkata kepadanya, ‘Budak ini mengidap penyakit yang tidak anda sebutkan,’. Mereka lalu mengadukan perkara ini kepada Usman. Si pembeli berkata, ‘Ia menjual kepadaku seorang budak yang mengidap suatu penyakit, tetapi ia tidak menyebutkannya kepadaku,’.
Abdullah bin Umar berkata, ‘Aku menjualnya dengan lepas tangan,’. Usman kemudian meminta Abdullah untuk bersumpah bahwa ia menjual seorang budak yang tidak ia ketahui sedang mengidap suatu penyakit. Tetapi Abdullah menolak bersumpah. Ia lalu mengambil budaknya kembali,”.
Juga ada riwayat yang menyatakan bahwa Zaid bin Tsabit membolehkan jual beli lepas tangan. Alasan Imam Malik mengecualikan barang yang berupa budak, karena cacat pada sebagian besar kaum budak itu tidak tampak. Yang jelas, khiyar untuk mengembalikan cacat pada barang yang dijual merupakan hak yang tetap bagi si pembeli. Mengingat masalah ini cukup kompleks, seharusnya kedua belah pihak yakni si penjual dan si pembeli harus jujur dan terbuka.
Secara umum jual beli lepas tangan menurut para ulama yang membolehkannya, hanya bisa mengikat dengan syarat. Yaitu kalau si penjual mensyaratkannya, kecuali jual beli yang dilakukan oleh penguasa dan warisan-warisan menurut Imam Malik saja. Sehingga perlu diperhatikan syarat, akad, hingga barang yang dijualnya.
Imas Damayanti