Makna Kata “Minkum” Q.S Ali Imran Ayat 104 dalam Tafsir al-Manar
Oleh: Hanan Aslamiyah Thoriq
Bahasa arab merupakan bahasa yang memiliki beragam kosakata dengan makna yang unik serta autentik. Salah satu contoh keberagaman bahasa arab termaktub dalam surat Ali Imran (3) : 104. Pada ayat tersebut, terdapat lafadz minkum yang dapat dimaknai sebagai min bayaniah yang berarti memberi penjelasan atau min ba’dhiyah yang manunjukkan arti sebagian. Selain itu, ayat inilah yang menjadi spirit K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Adapun bunyi ayatnya adalah sebagai berikut :
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ .
Artinya : “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Dalam tafsir al-Manar karya Rasyid Ridho murid dari Muhammad Abduh, dijelaskan bahwa para mufassir berbeda pendapat ketika menafsirkan lafadz minkum pada ayat diatas. Al-Jalal, al-Kasyaf dan lainnya berpendapat bahwa lafadz minkum dalam surat Ali Imran ayat 104 bermakna sebagian yang menunjukkan arti bahwa; menyeru kepada amar ma’ruf nahi mungkar hukumnya adalah fardu kifayah.
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa lafadz “minkum” pada ayat tersebut bermakna penjelasan. Jika dinarasikan menjadi “hendaklah kalian (semua) menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”, bukan bermakna “sebagian” sebagaimana pendapat pertama. Senafas dengan pendapat kedua, imam Muhammad Abduh berkata bahwasanya firman Allah tersebut merupakan perintah yang bersifat amm (umum). Hal ini menujukkan bahwa implikasi hukumnya adalah fardu ‘ain.
Lalu beliau pertegas keumuman tersebut dengan firman Allah dalam Q.S al-Ashr sebagai berikut :
وَالْعَصْرِۙ . اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ . اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ . ࣖ
Artinya : “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”
Surat al-Ashr diatas menunjukkan bahwasanya setiap manusia memiliki kewajiban untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran yang merupakan bagian dari perbuatan amar ma’ruf nahi mungkar. Selain dalam surat al-Ashr, Allah Azza wa Jalla juga berfirman dalam Q. S al-Ma’idah ayat 78- 79, berikut :
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْۢ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ عَلٰى لِسَانِ دَاوٗدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۗذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ . كَانُوْا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُّنْكَرٍ فَعَلُوْهُۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ .
Artinya : “Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat. Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”
Ayat diatas memberikan isyarat kepada kita bahwa Allah tidak mengkisahkan kehidupan orang-orang terdahulu kecuali untuk diambil hikmahnya. Adapun hikmah yang dapat dipetik ialah hendaknya setiap manusia saling menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar supaya tidak terulang kembali laknat Allah kepada orang-orang kafir dari bani Israil yang enggan saling menasihati dalam kebaikan dan mencegah manusia dari perbuatan mungkar.
Akan tetapi, penjelasan Imam Muhammad Abduh ini disanggah oleh mufassir yang lain (baca : al-Jalal) bahwasanya ia menolak keumuman perintah pada ayat tersebut (yaitu : Q.S Ali Imran ayat 104). Sebab al-Jalal mensyaratkan bagi orang yang hendak berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang-orang yang ‘aalim, yaitu mengetahui perbuatan ma’ruf yang ia perintahkan dan mengetahui perbuatan mungkar yang ia larang. Senada dengan hal tersebut, al-Jalal menyebutkan bahwa ditengah-tengah manusia terdapat orang-orang yang tidak mengetahui hukum-hukum Allah.
Namun, Imam Abduh membantah sanggahan tersebut dengan pernyataan bahwa; perkara yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hukum-hukum Allah tidak mungkin bagi seorang muslim untuk tidak mengetahuinya (mana perbuatan yang ma’ruf dan mana perbuatan yang mungkar). Secara umum, perbuatan ma’ruf adalah sesuatu yang diketahui oleh akal dan merupakan watak yang bersih sedangkan mungkar adalah sesuatu yang diingkari, baik oleh akal maupun naluri manusia. Dan untuk mengetahui hal tersebut, seorang muslim tidak perlu bersusah payah membaca kitab-kitab terdahulu atau menuliskannya dalam sebuah buku, dikarenakan hal tersebut telah menjadi fitrah manusia. Oleh karena itu menurut Muhammad Abduh, seawam-awamnya orang islam pasti mengetahui antara yang baik dan buruk, hanya saja berbeda pada tinggi tingkat keilmuannya.
Ringkasnya, seorang muslim tentu saja memahami bahwa tolong menolong adalah akhlak terpuji, sedangkan perbuatan mencuri, mencaci, membunuh adalah perbuatan tercela. Sesederhana inilah yang menjadi tekanan bahwa menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan menjadi kewajiban masing-masing individu umat muslim. Sebab, jika seorang muslim bersikap berlebih-lebihan dalam meninggalkan nasihat maka akan berdampak pada kosongnya hati dan bertebarannya kemaksiatan di muka bumi.
Dengan demikian, dalam tafsir al-Manar makna lafadz “minkum” Q.S Ali Imran (3) : 104 dimaknai sebagai min bayaniah yang berlaku pada setiap umat muslim, bukan hanya berlaku untuk sebagain saja sebagaimana pendapat mufassir yang lain. Perlu digaris bawahi bersama pula bahwa penafsiran para mufassir ini bersifat variatif bukan kontradiktif, yakni berbeda dalam menafsirkan lafadz “minkum” namun tetap berorientasi pada kewajiban ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Dan hal inilah yang sejatinya menujukkan kepada kita bahwa ilmu Allah begitu luas untuk umur yang terbatas.
Wallahu a’lam bisshawab.
Hanan Aslamiyah Thoriq, Mahasiswi PUTM Yogyakarta