REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Setelah selesai memberi nama Muhammad, saatnya bermusyawarah kepada siapa bayi mulia ini disusukan. Sesuai adat yang ada di kalangan bangsawan Arab, bayi yang baru lahir itu harus disusukan oleh selain ibunya kepada warga pedalaman Arab.
"Aminah akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang Keluarga Sa’d yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Makkah," tulis Husen Heikal dalam bukunya Sejarah Hidup Muhammad.
Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan anak itupun dikirimkan ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa’d.
Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu, Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan milik Abu Lahab uang yang merupakan paman bayi itu (Nabi Muhammad). Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya.
"Jadi mereka adalah saudara susuan," katanya.
Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya. Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia hijrah ke Medinah, untuk meneruskan hubungan baik itu ia menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara
susuan.
"Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah meninggal sebelum ibunya," tulis Haekal.
Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim.
Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan.
"Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad," katanya.