REPUBLIKA.CO.ID, — Semenanjung Iberia terletak di bagian paling barat daratan Benua Eropa. Wilayah itu kini menjadi lokasi negara-negara modern, termasuk Spanyol dan Portugal.
Muslimin pernah berjaya ratusan tahun lamanya di Andalusia-sebutan bagi Spanyol dalam historiografi Islam. Sejarah kegemilangan peradaban Islam itu bermula sejak Ramadhan 92 H atau Juli 711 M melalui penaklukan yang dipimpin Thariq bin Ziyad.
Lelaki itu awalnya merupakan letnan kepercayaan gubernur Ifriqiyah, Musa bin Nusair. Wilayah Ifriqiyah, seperti mayoritas Afrika Utara kala itu dikuasai Kekhalifahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus.Kerajaan Islam ini mulai berekspansi ke Iberia setelah penguasa Ceuta, Raja Julian, meminta bantuan Muslimin, khususnya dari Berber, dalam menjungkalkan kekuasaan Raja Roderick.
Menurut Prof Raghib as-Sirjani dalam Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (2013), Thariq bin Ziyad merupakan tokoh kunci dalam Pembebasan Andalusia. Masyarakat Iberia menyebutnya, Taric El Tuerto, Thariq si pemilik satu mata. Jenderal Umayyah ini berasal dari Suku Berber (Barbar) Nafzah, yang telah memeluk Islam.
Dalam perspektif Barat, penamaan barbarsering diidentikkan dengan suku bangsa yang `tidak beradab' atau `liar.' Kecenderungan itu dapat dilacak setidaknya sejak zaman kejayaan Imperium Romawi.
Penduduk Roma menamakan bangsa-bangsa di luarnya, terutama yang berasal dari pesisir Afrika, sebagai barbarus. Istilah itu untuk mengecap sang lainnya sebagai `terbelakang', sembari mengeklaim bangsa sendiri sebagai `tercerahkan' atau `beradab.'
Sejak Daulah Umayyah menguasai sebagian Afrika Utara, banyak suku-suku barbar setempat yang menjadi Muslim atas kemauan sendiri. Suku Nafzah pun demikian. Keluarga Thariq merupakan keturunan kelompok etnis tersebut.
Lelaki ini lahir pada 50 H, yakni ketika ekspansi Islam sedang gencar-gencarnya dilakukan di penjuru Afrika Utara. Ia pun menjalani masa anak-anak, remaja, dan dewasa sambil menyaksikan serta merasakan sendiri pengaruh pergolakan politik-kekuasaan tersebut.
Ayahnya bekerja sebagai budak di pusat pemerintahan Ifriqiyah, Kairouan. Sejak kecil, Thariq sudah diajarkan untuk menjadi pria yang tangguh dan patriotik. Sebagai anak budak, dirinya terus berjuang untuk memenuhi ekspektasi tuannya. Seperti umumnya penguasa saat itu, gubernur Ifriqiya menginginkan hamba-hamba yang dapat membela kepentingan tuannya di lapangan.
Maka dalam usia remaja, Thariq sudah terampil menunggangi kuda, memanah, menggunakan senjata, dan menerapkan ilmu bela diri. Terutama setelah dibebaskan Musa bin Nusair dari status budak, ia pun makin disiplin dalam menguasai ilmu-ilmu agama dan umum.
Dengan cepat, dirinya mampu berbicara, menulis, dan membaca dalam bahasa Arab dan Yunani. Kecerdasan dan ketangkasannya membuat Gubernur Musa mengangkatnya sebagai letnan di jajaran militer setempat.
Musa sering mengadakan ekspedisi untuk meredam para pemberontak di berbagai daerah. Dalam banyak misi, Thariq pun dengan setia mengiringinya. Biasanya, mantan budak ini berperan sebagai pemimpin pasukan perintis yang bertugas memantau dan mengawasi pihak musuh.