REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Allah memilih Nabi Ibrahim sebagai keluarga harmoni yang tangguh karena mampu bertahan di lembah tak berpenghuni. Siti Hajar ibu Ismail, istri Nabi Ibrahim menjadi sosok yang banyak terekam dalam perjuangannya.
"Yang tak kalah pentingnya dalam pembinaan keluarga adalah peran istri dan ibu (Hajar)," tulis H Sudarisman Ahmad, Lc dalam bukunya "Haji dan Pendidikan Keluarga".
Dikisahkan oleh Imam Bukhari bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam membawa Hajar dan Ismail ke lembah gersang nan kering, tidak ada seorangpun yang tinggal di tempat itu, tidak ada pula sumber air dan tumbuhan. Ibrahim memilih tempat di dekat Ka’bah, tepatnya sebelah atas dari sumur Zamzam.
Tanpa kata-kata beliau meninggalkan istri dan anaknya yang masih bayi, hanya membekalinya dengan sekantong kurma dan seperiuk air minum. Hajar mengikutinya seraya memberanikan diri untuk bertanya.
"Wahai Ibrahim, akankah engkau pergi meninggalkan kami di sini tanpa bekal cukup dan orang yang menemani?”
Ibrahim pun tak menghiraukan pertanyaan itu, bahkan dengan sekedar menoleh sekalipun. Sebagai seorang wanita dalam kondisi seperti itu wajar jika ia beberapa kali mengulang pertanyaan itu, meski tidak mendapat jawaban yang melegakan, hingga akhirnya ia berkata.
“Apakah Allah yang memerintahkan ini padamu?” “Ya” Ibrahim menjawab dengan singkatnya. “Jika demikian maka Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” tegas Hajar sambil kembali ke tempatnya.
Kalimat yang penuh makna dan bertenaga. Sebuah keyakinan yang sangat mendalam dari seorang wanita. Keyakinan bahwa jika Allah memerintahkan sesuatu maka Dia tidak akan membiarkan hambaNya yang bertawakal dan pasrah dalam menjalani perintahNya.
Sebuah keteguhan dalam menunaikan titah Allah apapun risiko yang harus ditanggungnya dan simbol kesetiaan pada sang suami yang sedang mengemban tugas Tuhannya. Hari berlalu, perbekalan semakin menipis dan akhirnya tidak tersisa sama sekali.
Hajar tidak tega melihat putranya meraung kehausan. Naluri keibuannya menuntunnya naik ke bukit Shafa, barangkali ia melihat orang yang dapat menolongnya, namun harapan itu sia-sia. Ia pun turun dengan setengah lari menuju bukit Marwah. Sampai tujuh kali ia lakukan itu tetapi bantuan tak kunjung ia dapatkan.
Dalam kepanikan terdengar suara, ternyata suara malaikat yang diutus membawa pertolongan, mencarikan sumber air dengan sayap atau tumitnya. Ya, air pun memuncrat, betapa bahagianya Hajar, dia pun segera membendungnya dan mengisi penuh tempat airnya. Inilah sejarah Sa’i antara Shafa dan Marwah, dan awal mula air Zamzam yang diberkahi.
Hanya istri dan ibu yang memiliki karakter Hajar di atas yang dapat menciptakan sebuah keluarga surgawi dan melahirkan generasi unggul. Tenaga positifnya akan menjalar ke setiap sudut rumah dan mengisi relung hati penghuninya.
Syahdan, Ismail tumbuh dalam nuansa keimanan yang terpancar di rumah ini. Ia mewarisi ketegaran dan kepasrahan mutlak pada putusan Allah dari ayah dan bundanya. Hal ini terlihat jelas saat Ibrahim menyampaikan wahyu penyembelihannya.
Dalam surah as-Shaaffat ayat 102 Alquran mengisahkan yang artinya:
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersamasama Ibrahim, Ibrahim berkata. “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu!” ia menjawab, “Hai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
"Demikianlah profil keluarga yang selanjutnya diabadikan oleh Allah dalam rangkaian manasik ibadah haji," katanya.