REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Iblis senantiasa menggencarkan tipu dayanya terhadap manusia termasuk kepada orang yang zuhud, dan ahli ibadah.
Dikutip dari buku Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi dengan pentahqiq Syaikh Ali Hasan al-Halabi, mungkin orang awam pernah mendengar celaan atas nikmat dunia, baik dalam Alquran ataupun hadits. Lalu, mereka menilai bahwa jalan selamat adalah dengan meninggalkan dunia. Penilaian tersebut keliru, sebab dunia seperti apa yang tercela itu tidak mereka pahami, sehingga Iblis mentalbis mereka dengan berkata: "Kamu tidak akan selamat di akhirat kecuali dengan meninggalkan kehidupan dunia."
Sehingga, orang yang punya pemahaman demikian mengasingkan diri ke gunung. Maka dia menjauhi shalat Jumat, shalat berjamaah, juga menuntut ilmu. Mengubah diri menjadi seperti hewan liar. Terbayang olehnya bahwa itu adalah zuhud yang sesungguhnya. Keyakinan ini didukung oleh lingkungan saat mendengar fulan pergi entah ke mana, dan mendengar fulan beribadah di gunung. Padahal saat itu ia memiliki keluarga yang akan terlantar jika ditinggalkan. Atau terkadang ada yang masih mempunyai ibu yang pasti menangis karena berpisah dengannya.
Di sisi lain, mungkin waktu itu orang ini masih belum mengetahui rukun-rukun shalat yang sesungguhnya, dan dimungkinkan juga dia punya tanggungan yang belum dia tunaikan kepada seseorang.
Iblis leluasa menipu orang seperti itu sebab minimnya ilmu yang dia miliki. Salah satu tanda kebodohannya ialah seseorang merasa puas diri dengan ilmu yang dikuasainya. Andaikan dia mau berteman dengan seorang faqih (ulama) yang memahami berbagai hakikat, tentulah dia menyadari bahwa dunia tidaklah tercela karena keberadaannya.
Bagaimana mungkin karunia yang Allah anugerahkan dikatakan sebagai sesuatu yang tercela? Padahal semua itu merupakan faktor terpenting bagi keberlangsungan hidup manusia, dan sarana yang dapat membantu mereka untuk meraih ilmu serta beribadah kepada-Nya, seperti makan, minum, pakaian, dan masjid untuk tempat shalat?
Maka yang tercela darinya adalah mengambil sesuatu dari dunia secara tidak halal, memanfaatkan nikmat secara berlebihan, tidak sesuai dengan kadar kebutuhan pribadi, serta membelanjakan harta atas dasar keinginan nafsu, bukan atas dasar izin syariat.
Perlu diketahui bahwa mengasingkan diri ke gunung merupakan perbuatan terlarang, karena Nabi ﷺ melarang seorang pria bermalam seorang diri (HR Ahmad dari Ibnu Umar). Melakukan perbuatan yang rentan dari meninggalkan shalat Jumat dan berjamaah merupakan sebuah kerugian dan bukan suatu keuntungan. Menjauhkan diri dari ilmu dan ulama justru akan memperkuat dominasi kebodohan. Meninggalkan ayah dan ibu menurut kasus di atas termasuk tindakan durhaka kepada orang tua, dan durhaka kepada mereka termasuk dosa besar.
Perihal kabar yang menyebutkan bahwasanya terdapat orang-orang mukmin yang mengasingkan diri ke gunung, amat mungkin itu terjadi dalam kondisi tidak mempunyai tanggungan keluarga, atau sudah tidak memiliki ayah-ibu, sehingga mereka bisa pergi ke suatu tempat dan sama-sama beribadah di sana. Adapun yang kondisinya tidak demikian kemudian mengasingkan diri ke gunung, maka dia berbuat kekeliruan. Ya, tidak benar, siapa pun mereka.
Seorang Salaf mengatakan: "Kami mengasingkan diri ke gunung untuk beribadah, namun Sufyan ats-Tsauri pun mendatangi kami dan memulangkan kami."